Dalam sebuah perjalanan, pikiran saya tiba-tiba melayang ke masa 8 tahun lalu saat saya masih menggunakan rok berwarna abu-abu dengan kunciran dan dandanan super cupu. Sangat jelas dalam ingatan saya, saat itu saya begitu penasaran akan kehidupan saya di masa periode usia 25 tahun.
Saat itu saya bertanya-tanya,
Pada usia itu, kira-kira apa yang sudah saya lakukan? Apakah saya akan menjadi seorang wanita karier? Apakah saya sudah menikah dan membina sebuah keluarga? Memiliki seorang atau dua orang anak yang lucu sambil membina karier bersama dengan suami saya.
Dari pertanyaaan dan angan tersebut, mulailah saya bertanya dalam diri saya. Yang saya bayangkan saat itu adalah, setelah SMA, saya akan masuk perguruan tinggi dan setelahnya menikah dengan laki-laki yang menjadi kekasih saya saat itu. Sebuah pikiran yang terlalu serius untuk anak seusia saya pada saat itu.
Keseriusan itu, coba diimani oleh saya. Selepas SMA, saya belajar dengan rajin dan menjalani beberapa hubungan personal yang serius. Karena dalam benak saya, di antara usia 25, saya sudah akan membangun sebuah kehidupan yang mandiri baik dari segi finansial maupun dalam kehidupan personal.
Dalam hal pendidikan dan mengejar gelar sarjana, tentunya keseriusan saya ini tidak perlu diragukan lagi. Saya berhasil menyelesaikan study saya selama 3 tahun 9 bulan. Begitu pun dengan urusan percintaan atau personal. Betapa saya ingat, saat di awal kuliah saya sempat berpacaran serius dengan seorang kakak kelas yang nyatanya berbeda keyakinan dengan saya. Saat itu, keseriusan saya terwujud dari banyaknya membaca literatur tentang hubungan beda identitas dan juga intensif beraktivitas dengan dia dan keluarganya. Begitu pun sebaliknya. Tak lepas juga dari ingatan saya, bagaimana kami telah membuat sebuah bagan rencana kami setelah saya menyelesaikan studi. Dan di sana tertulis, pada usia 25 saya sudah akan memiliki seorang anak. Saat itu semuanya terasa begitu dekat, jelas, dan terukur.
Nyatanya setelah bagan itu tercipta, kami malah memutuskan berpisah. Seketika itu, rasa dan kecocokan antara kami hilang menguap begitu saja. Setelah itu saya membina hubungan serius saya dengan pria yang lainnya. Mendekati usia 25 tahun, hubungan kami memasuki tahun keempat, dan begitu optimisnya saya akan rencana seperti saat SMA dulu. Namun, realita berkata lain. Satu minggu setelah saya berusia 25 tahun, kami sepakat mengakhiri hubungan kami.
Ternyata, realita baru ini menghenyakkan saya akan sebuah kewajiban baru bagi saya untuk tetap bersemangat memenuhi cita-cita masa muda saya. Memang, saat itu beberapa ’proposal’ rasa diberikan kepada saya. Dan tugas saya hanya satu, Mencari Chemistry untuk setiap proposal yang ada.
Bila berbincang tentang chemistry atau lebih sering saya sebut sebagai Si Mitri (agar terlihat lebih akrab dan bersahabat dengan mahkluk yang satu ini), tentu akan banyak pendapat untuk setiap orang. Hampir semua orang di dunia merasa yakin bahwa Si Mitri memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan personal kita dengan orang lain, entah itu dengan keluarga, teman, pasangan hidup, atau bahkan dengan musuh sekalipun Si Mitri tetap memiliki sebuah peran yang penting. Dalam aktivitasnya, makhluk ini mampu menjadikan sebuah pengalaman penuh dengan rasa.
Mengutip sebuah pernyataan seorang teman yang membangun hubungan rumah tangga atas hasil dari sebuah perjodohan, ”Rasa cinta dan kecocokan datang karena terbiasa. Terbiasa beraktivitas bersama, berkomunikasi berdua. Jadi buat apa pusing dengan Si Mitri. Toh, dia hanya bumbu rasa ajah.”
Lain lagi, pendapat teman saya yang lainnya, ”Buat apa ada Si Mitri. Emang nya dia bisa bikin kita kenyang dan bahagia. Toh, yang penting punya pasangan yang modalnya besar, jadi bisa memenuhi rasa bahagia kita lahir bathin.”
Atau curahan hati seorang sahabat yang sudah sangat merindu pasangan hidup di sampingnya. ”Kenapa yah.. gue selalu nervous saat ketemu orang yang menurut gue udah sesuai kriteria gue banget. Akhirnya gue malah gak dapet apa-apa dari dia dan Cuma gigit jari karena udah keburu jiper sama itu sosok sempurna.”
Dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman orang di sekeliling saya mengenai Si Mitri.
Entahlah.. Saya sendiri pun bingung bila harus berpendapat akan makhluk yang satu ini. Namun sampai saat ini saya sangat mengimani peran dari makhluk yang satu ini dalam menentukan arah perasaan saya. Karena saya setuju dengan kata-kata seorang pujangga bahwa, ”Cinta bukan hanya sekedar karena terbiasa, namun lebih karena adanya kecocokan jiwa.”
Teringat akan janji masa muda dulu dan realitas yang menyadarkan bahwa saya sudah tidak muda lagi. Muncul pertanyaan berulang kali dalam benak saya.
Apakah saya akan berkeras untuk menemukan Si Mitri atau membiarkan Si Mitri yang akhirnya akan menemukan saya?