Tuesday, November 08, 2011

Menanam Pohon Uang


‘Waktu terbaik untuk memulai menanam pohon adalah dua puluh tahun yang lalu sedangkan waktu terbaik berikutnya adalah hari ini.’

Membaca peribahasa ini terkadang memang terkesan klise. Kita selalu berpikir, waktu dapat ditunda semau kita. Karena masih banyak ‘hari ini’ yang akan datang esok hari. Sehingga tanpa terasa, dari hitungan hari, bulan, sampai dengan tahun. Saat sudah melewati hitungan tahun, baru kita akan sadar, mengapa kita begitu lama menunda nya.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah perbincangan dengan bos berlokasi toilet kantor saya sempat bertanya kepada beliau :

‘Mba, kayaknya pernah cerita yah sebelum married pernah coba investasi reksadana or something gituh. Beli produk investment gitu di mana yah?’

‘Oh, waktu itu aku beli di Trimegah. Perusahaan yang menjual produk reksadana. Hmmm.. tapi, kamu baca dulu deh bukunya Ligwina Hananto. Judulnya : Untuk Indonesia yang Kuat.'

‘Hmmm.. buku apa tuh mba?’

‘Yah, kalo mau invest dan mau coba langsung ke Trimegah juga ga papa. Di sana juga bagus. Tapi kalau aku saranin sih, kamu baca bukunya Ligwina dulu deh. Di sana bakal banyak dijelaskan gak cuma hal-hal tentang investasi. Tapi juga tujuan kenapa sih loe perlu investasi. Bukunya ringan kok. Nah, kalo mindset nya udah pas, baru deh coba beli produk investasi.’

‘Oh gitu yaaa. Oke deh nanti coba cari di Gramed.’

‘Pinjem aja punya aku. Besok dibawain deh.’

‘Oke.’

Hmmmm.. Tulisan saya kali ini rasa prediksikan bakalan sedikit lebih serius. Karena kita akan sama-sama ngomongin apa sih yang ada dibenak anak-anak muda sekarang akan yang namanya kehidupan di masa mendatang. Bukannya bermaksud untuk melakukan promosi terhadap buku ‘Untuk Indonesia yang Kuat : 100 Langkah untuk Tidak Miskin’ karangan Ligwina Hananto. Saya ingin sekedar share saja kepada teman-teman semua yang saya alami dan rasakan setelah saya selesai membaca buku ini.

Banyak pertanyaan dalam buku ini yang menggelitik saya untuk jadi lebih ingin tahu dan banyak mencari tahu apa sih investasi itu. Apa sih tujuan investasi? Apakah bisa, saya yang sekedar pegawai tetap sebuah perusahaan swasta ini ikut melakukan investasi? Kenapa sih, kita perlu memikirkan tujuan hidup kita sampai dengan kita pensiun? (*Booo, masih 29 tahun lagi deeehh. That would be long time yaaaa)
Sebuah ilustrasi cantik dalam buku ini

‘Kita golongan yang memiliki penghasilan pas setiap bulannya, pas buat beli starbucks tiap weekend, pas bisa belanja di Sogo, pas bisa nonton film box office tiap minggu. Tetapi kenyataannya kita sebagai golongan menengah (Golongan Pas) ini sering punya uang pas-pasan. Bulan ini bisa beli starbucks, tapi masih mikir buat punya tabungan bahkan investasi. Uang sejumlah 100 juta pun masih jauh rasanya. Padahal dengan semua gaya hidup tingkat tinggi yang kita miliki, harusnya hal tersebut bukanlah hal yang sulit. Atau jangan-jangan ternyata kita sebetulnya hanya golongan yang gaya di luar saja.’

Dari ilustrasi yang begitu dekat dengan pengalaman keseharian ini, saya jadi berpikir ulang.

‘Iya yaaa.. kalau bener karier gue bakal lurus mulus kayak jalan tol. Dan bisa pensiun sebagai Direktur atau bahkan Presiden Direktur. Pasti tabungan gue akan cukup banyak. Tapi gimana kalo kenaikan gaji gue per tahunnya hanya ngikutin kenaikan inflasi nasional (amit-amittttt). Apakah anak gue bakal bisa merasakan pendidikan yang dulu pernah gue dapatkan. Apalagi kalo sekarang lihat iuran bulanan sekolah adik gue. Dulu jaman SD kelas 4 iuran sekolah per bulan hanya 50ribu saja. Sekarang di lembaga yang sama, iuran per bulan adik gue yang sekarang kelas 4 SD adalah 700ribu. Ternyata nilai uang begitu cepatnya tidak memiliki arti.’

Membayangkannya saja, muncul kengerian yang mendalam dalam diri saya. Masih bisa gak yah gaya hidup saya yang sekarang ini dipertahankan sampai mungkin 10 atau 20 tahun mendatang. Bertahan bukan berarti selalu dalam kehidupan pas. Apalagi, ada keinginan untuk jadi enterpreuner di masa produktif.

Dari kengerian ini, respon pertama saya adalah menginformasikan beberapa teman saya yang dari dulu paling getol untuk mengingatkan dan mengajak saya untuk mulai berinvestasi. Teman-teman saya ini memang bukanlah para agen penjual produk investasi. Mereka semua sama seperti saya, karyawan di perusahaan swasta yang sedang menata karier dan cita-cita. Selama ini, saya selalu berkilah dengan bilang ‘gak ngerti apa itu investasi dan bagaimana caranya. Atau alasan klise bahwa saya ini perempuan dan investasi terdengar seperti kegiatan maskulin untuk kelompok laki-laki. Melalui pesan singkat, saya mengaku akhirnya saya menyadari besar dan pentingnya investasi. Bukan hanya sekedar mencari keuntungan dalam bentuk passive income, tapi yang lebih penting dengan berinvestasi saya punya harapan masih bisa mempertahankan gaya hidup saya sampai nanti saya masuk ke dalam usia non-produktif. Saat itu, saya bisa membeli starbucks saya sendiri tanpa harus ‘minta’ kepada anak saya atau bahkan cucu saya nantinya.

Setelah itu, saya langsung menghubungi sebuah lembaga Financial Planner untuk memberikan pengetahuan terpadu mengenai cara mengatur keuangan pribadi dan melakukan investasi. Saat pertama kali melakukan janji bertemu dengan para Financial Planner ini ada rasa bangga dalam diri saya. Bangga, bahwa di umur saya ini saya sudah punya kesadaran untuk belajar mengatur keuangan saya. Di tengah gaya hidup teman-teman yang masih senang menghabiskan uang pribadi bahkan sampai ke uang orang tua mereka, namun dengan aksi saya ini saya percaya satu langkah lebih maju dengan teman-teman saya. Paling tidak, satu langkah lebih maju menuju kemandirian financial.

Selain rasa bangga, awalnya bertemu dengan sang Financial Planner ada banyak asumsi saya akan profesi mereka. Yang saya bayangkan, Financial Planner itu pastinya nerd, kacamata tebal dengan laptop dan angka-angka yang jelimet, udah tua, dan semua stigma kejadulan lainnya. Nyatanya, saat bertemu dengan sang Financial Planner (Yudit Yunanto), betapa terkejutnya saya. Ngobrolin rencana keuangan bareng Mas Yudit berasa ngobrolin film box office terbaru yang lagi jadi trend. Bener-bener santai dan jelas. (*Walaupun pas pulang jadi cenat-cenut karena sadar selama ini gaya hidup boros bgt. :p)

Dengan beberapa kali pertemuan, saya merasa yakin dan siap untuk melakukan investasi. Ini karena saya yakin bahwa hidup di generasi modern sekarang ini harus kuat dan siap dengan modal bila ingin bertahan atau bahkan bersaing dalam kehidupan. Dan untuk teman-teman yang sekarang juga mulai tertarik dengan bentuk produk investasi, coba cari banyak info dulu deh sebelum memulai. Karena banyak banget agen penjual produk investasi yang cuma cari banyak untung dan dapat banyak point untuk mereka bisa jalan-jalan ke luar negeri, tanpa memikirkan kebutuhan dan tujuan hidup konsumen mereka.

Mumpung masih muda dan masih bisa, kita coba berinvestasi dari sekarang. Kalau kita sebagai generasi muda punya financial yang kuat, tentu akan membuat financial negeri kita tercinta, Indonesia ini semakin kuat. Mungkin, dalam setahun ke depan, saya akan akan bagikan kembali pengalaman berinvestasi sebagai pemula. Tunggu tulisan saya selanjutnya yaaaa…

Ayo, bersama untuk Indonesia yang kuat !!


*Tuh kan, Mba Ligwina ini ternyata masih muda dan cantik yaaaa. (Usia nya masih 30’an looh)

Tuesday, October 11, 2011

I Love You from the Start

Percaya gak sih dengan yang namanya takdir?

Apa bener semua jalan hidup ini sudah diatur oleh Tuhan? Apa benar semua tujuan hidup kita sudah digariskan? Apakah benar jodoh kita telah ditentukan sejak lahir? Bicara soal takdir dan jodoh, setiap orang pasti berbeda-beda pengalaman yaa.

Dalam sebuah perbincangan malam dengan nyokap, doi sempet cerita ‘gosip’ terbaru yang dapat menjadi bahan cerita kita berdua.

‘Tau gak sih, kalau mantanmu tuh sekarang udah punya pacar baru?’

‘Ya elah maa, kan aku udah cerita. Pacarnya sekarang itu temen waktu kuliah. Wong sidang skripsinya aja bareng. Kayaknya waktu dulu di kampus, aku beberapa kali lihat mereka ngobrol sih. Emang kelihatannya udah deket dari dulu. Mungkin dulu belom ada kesempatan kali yah.’

‘Iyaaa.. denger-denger tuh dia sebelum jadian sama kamu udah nembak itu perempuan, tapi di tolak. Udahan gitu jadian deh sama kamu. Eh, sekarang mereka jadian deh.’

‘Iya sih, aku tau kok. Lagian waktu terakhir-akhir sama aku udah terasa banget kok. Hubungannya mereka udah intens banget. Yah, kalo sekarang malah jadian yah mudah-mudahan namanya jodoh.’
----------------------------------------------------------------------------

Di lain kesempatan, seorang teman bercerita tentang nasib percintaannya,

‘Gue akhirnya milih dia jadi cowok gue.’

‘Bagus deh. Secara kan loe temen baik sama dia dari dulu.’

‘Iya sih. Sebenernya gue udah naksir nih anak dari dulu jaman gue remaja. Jaman masih cupu. Tapi entah tiba-tiba dia ngilang karena masuk asrama. Gue menjalin cinta sama siapa, dia pun sama siapa.. dan sekarang kita ngerasa ternyata saling sayang. Ya udah deh, jadian ajah.’
---------------------------------------------------------------------------

Atau sebuah perbincangan penuh kebingungan antara teman,

‘Kemarin gue pulang kampung halaman yah…  Terus ketemu sama temen satu geng waktu SMA gitu. 
Eh, masa 3 di antara mereka tuh kayak orang tukeran pasangan aja yaaa.. Mantannya si B sekarang suaminya A. Mantannya A sekarang suaminya C dan mantannya C suaminya si B. Gila yaaaa.. emang mereka gak ngerasa aneh yah satu sama lain?’

‘Aneh gimana maksudnya?’

‘Yah aneh lah.. emang gak aneh apa ngebanyain dulu pada mesra-mesraan pas pacaran. Ciuman lah, pelukan lah.. kan aneh’

‘Iya sih kalo di pikir-pikir aneh yah. Secara pasti kan pas mereka remaja saling curhat yah?’

‘Nah itu dia. Secara kan gue dulu satu geng sama mereka. Dari berempat, Cuma gue aja yang nikah sama orang di luar lingkungan pergaulan kita pas remaja.’

‘Yaaahh.. namanya juga dulu masih cinta monyet. Gak nyangka  pas udah dewasa rasanya beda kali. Just only Heaven knows about love, kan.. Kita mah tinggal ngerasain dan ngejalanin’
----------------------------------------------------------------------

Kita gak akan pernah tau yah, kemana hati ini akan mengarah. Kepada siapakah kita akan membagi suka, duka, kangen, manja, marah, sedih bersama. Dalam kamus hidup gue, jatuh cinta itu enaknya emang harus pada pandangan pertama. Dengan orang yang gak pernah kita kenal, saling liat-liatan, kenalan nanya nama, akhirnya ngobrol tentang kesukaan atau kegiatan masing-masing, sampai akhirnya memutuskan untuk barengan menjalani hidup berdua dalam hubungan pacaran.

Inget banget deh jaman remaja dulu sampe ngucap sumpah kalo gue gak akan pernah suka apalagi pacaran sama temen baik. Kebayang aja kan, saat kita udah tau baik buruknya temen kita, bahkan sampe busuk-busuknya kelakuan dan pemikiran dia, ternyata kita jatuh cinta sama dia. Ngobrolin hal-hal romantic sama dia, which is dulu kita goblog-goblog’an bareng. Dan ternyata.. sumpah itu akhirnya balik ke gue. Gak pernah kira, bahwa sekarang gue memutuskan untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria yang gue udah tau dari kecil. Pria yang berhasil membuat hati ini yakin bahwa gak ada salahnya kok pacaran sama temen sendiri. Malahan bagus, kita udah pernah saling kenal, udah tau sedikit karakter baik dan buruk sampe gokilnya kita.

Jujur, saat remaja dulu memang gue pernah terpesona sama pria ini saat dia berlaga di atas panggung bersama dengan gitarnya. Namun, saat itu kupikir hanyalah sebuah rasa kagum semata dan gak pernah ada niatan untuk melanjutkan ke niat yang lebih serius. Dia pernah menjalin cerita sama siapa dan gue pun punya banyak cerita cinta. Tapi entah kenapa, ada angin atau karena mantra apa, cinta tumbuh dalam persahabatan gue dan dia.

Dan sekarang, setelah hati ini memutuskan untuk menjalin hidup bersama dengan dia. I just realize that I love him from the start.


Monday, October 03, 2011

Tuesday, September 27, 2011

Do Re Mi..



Yeaah.. Let sing it !!

 wa ga pat
do dododododo, re rerererere
mi mimimimimi, fa fafafafafa
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
(do) doakan ku harus pergi (re) relakan aku di sini
(mi) misalnya aku kan pulang (fa) fastikan kau tetap menunggu
(sol) soal cinta luar biasa (la) lama-lama bisa gila
(si) siapa yang tahu pasti (do) doakan aku di sini

adududuh duh aku percaya
kali ini kau pasti bisa yeah
kuku kutanya ada yang salah
jelas ini luar biasa

hal yang baik tidak mudah, tak seperti kau bicara
mereka mengerti ini terlalu jadi masalah
ketika kau mulai bisa terbiasa untuk dapat
menikmati hari-hari tanpaku di sini

(do) doakan ku harus pergi (re) relakan aku di sini
(mi) misalnya aku kan pulang (fa) fastikan kau tetap menunggu
(sol) soal cinta luar biasa (la) lama-lama bisa gila
(si) siapa yang tahu pasti (do) doakan aku di sini

Monday, September 26, 2011

Mind Barriers

The Waraku


'The thing that make me realize that I need you.. I love you, mas..'

S.A.L.T

‘Ada yang bilang, dangdut tanpa goyang bak sayur tanpa garam. Kurang enak, kurang sedap.’


Dalam sebuah kesempatan hang out  bersama dengan teman-teman, kami memilih warung bakso terdekat untuk menjadi tempat kami berbagi tawa dan canda. Seperti biasa, sesampainya di sana kami langsung menyebutkan spesifikasi pilihan bakso kami. Sembari menunggu pesanan, kami tertawa bercanda lepas. Dari cerita seputar yang baru jadian, atau yang sedang deg-degan nunggu tanggal pernikahannya. Sampai ritual cela-celaan atas kebodohan-kebodohan yang pernah kami lakukan.

Kurang lebih 10 menit kemudian, datanglah mangkok-mangkok bakso pesanan kami. Dan seperti biasanya, saya lebih suka makan bakso dengan bumbu original / polos tanpa ada campuran saos, kecap, sambal, garam, ataupun cuka. Menurut saya makanan dapat dikatakan nikmat bila dari rasa originalnya saja sudah menggoyangkan lidah. Namun berbeda pendapat dengan beberapa teman saya. Menurut mereka, meracik kembali rasa makanan yang dipesan merupakan satu seni yang memerlukan bakat tertentu. Jadi wajib untuk mereka, menambah cita rasa sebuah makanan itu dengan sambal, saos, kecap, cuka, dan ataupun garam.

Yah, memang kalau kita ngobrolin soal makanan memang setiap orang punya kekhasan masing-masing. Tapi, maaf, untuk kali ini saya bukan akan membahas soal selera makan. Karena ngobrol soal selera makan bak ngobrolin soal agama atau keyakinan, yang gak pernah ada ujungnya. Toh, semua itu tergantung oleh kesukaan masing-masing orang.

Nah, balik lagi soal beberapa bumbu penyedap makanan. Ada banyak sekali bumbu masakan dari cabe, bawang merah-putih, lada, kemiri, jahe, kunyit, pala, daun salam, dan masih banyak yang lainnya. Namun, ada satu bumbu yang selalu hadir dalam setiap masakan, yaitu garam. Masih ingat dalam ingat saya saat masih belajar masak. Mama selalu bilang,

“Kalau masak bumbu paling dasar itu garam, gula, dan bawang putih. Tapi dari semuanya, yang gak pernah boleh lupa adalah garam.’

Benar juga sih, terbayang aja sebuah masakan tanpa garam, rasanya akan hambar luar biasa. Kalau dipikir-pikir, luar biasa juga benda kecil yang satu ini. Hanya sedikit saja takarannya, menjadikan masakan luar biasa terasa nikmat. Kalau kata Mbak Inul, Sang Ratu Ngebor, ‘Dangdut tanpa goyang bagai sayur tanpa garam’.
Saya pun teringat sebuah kalimat dari seorang teman yang sekarang menjadi orang yang mengisi hati saya.

‘Iyah, sebuah hubungan cinta juga perlu garam loh.’

‘Haahh !! kok bisa.’

‘Iyah, bisa lah. Garam bahasa inggrisnya kan SALT’

‘He eh.. terus..?’

‘Iyah, hubungan cinta juga butuh SALT : Sacrifice, Attention, Loyalty, Trust. Coba deh, hilangin salah satu komponennya, dijamin hubungan jadi garing, hambar.’

Seketika itu pun, saya mengamini apa yang dikatakan olehnya. Memang sih, sebuah hubungan cinta gak pernah ada rumusan pastinya, seperti kalau kita belajar aljabar. Tapi 4 komponen dalam SALT saya rasa menjadi sebuah komponen mendasar dari sebuah hubungan.

Memang seketika itu juga, saya mencoba bertanya lebih dalam lagi tentang makna SALT ini. Jangan sampai 4 huruf ini sekedar menjadi sebuah konsep khayalan tingkat tinggi, di mana sulit menemukan realita praktisnya.
Mulailah, saya menggali lebih dalam lagi dengan beberapa pertanyaan bak seorang wartawan .

‘Oke.. Kalo kita ngobrol soal Sacrifice atau pengorbanan, kayaknya kok yang terlintas di dalam otak ini cuma pengorbanan tulus dan sejati dari Tuhan kepada manusia yah? Apakah ada pengorbanan tulus ala manusia? Tulus ikhlas tanpa pamrih?’

‘Hmmm… Iya juga yaaa.. Kalo ngobrolin Sacrifice yang kebayang cuma hubungan Tuhan dan manusia.. Let me think… ‘

‘Tuh kan… aku juga udah cari di google, tentang sacrifice ini yang muncul gambar salib dan yang berbau keagamaan lainnya.’

‘Hmmm.. menurut aku, saat kita menyerahkan diri kita untuk orang yang kita sayangi. Pengorbanan di sini sederhananya dapat berupa pengorbanan secara emosional.’

‘Maksudnya?’

‘Di mana kita mau menerima orang yang kita kasihi apa adanya. Mau memaafkannya saat dia berbuat kesalahan dan tetap menyayanginya. Mau menerima kembali mereka saat mereka melakukan penghianatan kepada kita. Pengorbanan diri yang dimaksud adalah penyangkalan kita atas emosi-emosi negative yang muncul dan mengalahkan diri atas kemarahan, kekecewaan, kesedihan yang kita rasakan. Pengorbanan tulus ikhlas yang menghidupkan.’

‘Woooowwww. Dahsyat yaa.’

Seketika itu juga, saya merasakan ini pendapatnya benar-benar nyata. Siapa sihh yang gak pernah ngerasa sakit hati saat menjalin hubungan dengan orang lain. Kalo kata pepatah, ‘Kalau gak mau sakit hati yah jangan jatuh cinta donk.’

Saya mulai terhanyut dalam diskusi benda kecil bernama SALT ini, dan lanjut ke akronim kedua, yaitu dari kata Attention. Pasti semua dari kita dengan baik dapat mengartikan kata Attention atau Perhatian dalam arti kata bahasa Indonesia nya. Sesuai dengan kata dasarnya, yaitu HATI, perhatian dapat bermakna, segala sesuatu yang dilakukan dengan hati. Membuat orang lain merasa bahwa mereka ada dalam hati kita sudah cukup mewakili kata ini.

Untuk akronim ketiga, yaitu Loyalty mungkin suatu hal yang mudah terucap, namun sulit dijalani. Siapa sih, di dunia ini orang yang ingin diduakan atau ditigakan oleh pasangannya? Tapi, siapa pula di dunia ini yang mampu dengan baik menolak ajakan untuk sekedar mencari ‘Refreshing’ dalam sebuah hubungan yang sudah tahunan dan terasa mulai berkurang gregetnya. Siapa di dunia ini yang belum pernah sama sekali punya pengalaman suka, sayang, atau bahkan sekedar mengagumi orang lain selain keluarga atau pasangannya? Tapi semua pasti setuju, kalau dalam sebuah hubungan, kita ingin mendapatkan pasangan yang setia gak cuma sekedar di mulut, tapi juga di hati.

Nilai sebuah kesetiaan tidak hanya sekedar memenuhi atas janji kita kepada orang lain. Namun lebih mendalam lagi memenuhi janji yang telah kita ucapkan terhadap diri sendiri. Pada prakteknya, jujur atau setia akan janji terhadap orang lain lebih mudah untuk dijalankan daripada memenuhi janji dan mendisiplinkan diri untuk melakukannya dengan baik. Karena pada dasarnya manusia amat mencintai dirinya sendiri sehingga banyak toleransi-toleransi yang diberikan. Padahal musuh terbesar dalam hidup ini adalah diri kita sendiri. Bila kita membiarkan diri kita kalah akan toleransi yang ada, maka kita kalah terhadap musuh tebesar kita.
Kalau kita ngobrol soal kesetiaan, pasti gak jauh dari kata ‘Saling Percaya’. Dan inilah akronim terakhir dari komponen SALT, yaitu Trust.

Untuk topik saling percaya, saya suka sekali dengan analogi berikut ini,

‘Kepercayaan itu bagai sebuah pasir pantai, semakin digenggam akan semakin lepas dari tangan kita. Namun, bila kita berikan sebuah kelonggaran maka kita akan dapat terus membawa pasir tersebut di atas tangan kita.’

Saya pikir akan lebih mengasyikan kalau pasangan kita mau percaya dan membebaskan kita untuk bertanggung jawab atas segala apa yang kita ingin lakukan. Jadi ingat, jaman ABG dulu, pernah punya teman dekat yang super posesif. Setiap jam di SMS atau bahkan di telepon, sekedar tanya saya sedang apa, di mana, sama siapa, dan serentetan pertanyaan retoris lainnya yang membuat saya ingin mengganti nomer telepon genggam saya.

Hmmm… lucu memang kalau dipikir-pikir ternyata benda kecil bernama garam a.k.a salt ini punya daya magis yang sangat tinggi yah. Dia gak cuman menjadi penyedap dalam sebuah masakan, namun juga penyedap rasa dalam hidup, spesifik dalam hidup percintaan. Kecil memang, namun bila kita dengan sebuah ketulusan menambahkan komponen S.A.L.T dalam sebuah hubungan akan menjadi sangat bermakna dan menambah warna dalam perjalanannya..

Namun, selayaknya digunakan dalam komposisi bumbu masakan. Bila terlalu berlebih akan menimbulkan masalah baru dan menjadi duri dalam daging. Bila kadarnya sedikit pun tidak akan memberikan sebuah cita rasa yang baik pada sebuah masakan. Takaran dari SALT ini tergantung situasi dan kondisi yang ada. Bila hubungan sedang terasa hambar, bolehlah kita menambahkan sedikit porsi dari SALT ini. Kecil besarnya takaran dikembalikan kepada selera dan keunikan masing-masing personal. Layaknya menyantap semangkuk bakso. Saya lebih suka menyantapnya secara Original, namun teman-teman saya yang lain lebih suka menambahkan kembali rasa asin, pedas, atau gurih ke dalam masakan yang telah tersedia.

Manakah yang benar? Sekali lagi tergantung selera, situasi, dan kondisinya..

PS : 
Dan saya.. sekarang juga sedang mencoba menambahkan komponen S.A.L.T itu dalam hubungan saya.  Bukannya akan tanpa halangan dalam prakteknya.. Yah.. doakan saja yaaa komponen S.A.L.T ini bisa membawa saya ke tahap selanjutnya yang lebih serius. *inget umur cyiiiinnnnnttt

Monday, September 19, 2011

A Perfect Escape

"Lari pagi.. Pagi berlari.. Pagi-pagi cari pelarian"

Hari ini saya memulai lagi aktivitas lari pagi saat weekend setelah vakum selama 4 bulan. Seperti biasa, ritual saya sebelum berlari stretching, memakai sepatu, jaket, serta menyumpal kuping saya dengan green i-pod, teman setia saya saat senang dan sedih. Setelah semua persiapan selesai, mulailah saya menggerakkan kaki saya untuk maju ke depan, berlari di atas aspal yang baunya masih bercampur dengan embun pagi.

Karena selama 4 bulan ini bobot tubuh saya naik kurang lebihnya 12 kilo, saya menantang diri sendiri untuk menyusuri lebih panjang jalanan kompleks dari biasanya.

Setelah kurang lebih 30 menit saya berlari, tiba-tiba perasaan saya tersentak. Saya merasa lari pagi kali ini sangat berbeda. Entah apa itu, tapi saya merasa ini sangat berbeda. Padahal, saya menggunakan pakaian olah raga yang sama, jaket yang sama pula, pemutar mp3 dengan lagu-lagu yang sama mengalun harmonis mengiringi saya berlari. Sejenak, saya mengurangi kecepatan lari saya dan berusaha merasa. Apa yang berbeda kali ini?

Di tengah kebingungan itu, sebuah lagu mengalun perlahan dari i-pod saya..

It’s the hardest thing I’ll ever have to do
To look you in the eye and tell you I don’t love you
It’s the hardest thing that ever I’ll have to lie
To show no emotion when you start to cry..
(The Hardest Thing – 98 Degrees)

But if I let you go
I will never know
What my life would be holding you close to me
Will I ever see, you smiling back at me
How will I know, If I let you go
(If I Let You Go – Westlife)

Sesaat sebuah rasa terhenyak dalam hati dan pikiran saya..
Terbayang, 4 bulan lalu saya tetap berlari di tengah hujan deras di sebuah pagi. Bak adegan film yang dibuat sedikit dramatis. Saat itu, saya berlari dengan air mata mengalir deras, sederas hujan pagi itu. Sebuah aktivitas lari pagi yang akhirnya menjadi sebuah pelarian paling sempurna yang pernah ada. Pelarian dari emosi yang saat itu bergejolak campur aduk dalam hati saya. Emosi yang membuat saya berlari, dan terus berlari seakan ujung jalan tak pernah ada. Sebuah lari pagi yang tidak hanya mengolah raga saya, namun juga jiwa saya.

Motivasi berbeda, ternyata menimbulkan rasa berbeda pula. Lari pagi saya kali ini, terasa begitu berbeda dan menyenangkan. Dalam lari pagi ini, saya masih sempat memperhatikan beberapa Bapak yang bertugas mengumpulkan sampah warga. Seorang ibu yang baru saja pulang dari pasar. Sekelompok tukang ojek yang dengan setia menunggu para penyewa yang minta diantar ke suatu tempat. Seorang ibu tua tukang sayur, yang dengan wajah bersahaja berjalan mendorong gerobaknya. Dan semua hal yang membuat saya merasa berbeda, karena lari pagi kali ini bukanlah sekedar pelarian. Lari pagi kali ini dipenuhi dengan senyum suka cita yang tak segan saya berikan kepada orang-orang disepanjang lari saya. Senyum yang juga saya berikan untuk diri saya sendiri, karena sebuah rasa bahagia dalam hati. Rasa bahagia, karena lari pagi kali ini begitu berbeda...

*Refleksi 17 September 2011



Friday, September 09, 2011

The Most Guilty Pleasure : Upil

Sekali waktu, saya sempat bertanya, ‘Apa sih gunanya upil?
 
Apakah sekedar dikorek lalu ditempelkan di bawah meja belajar atau dinding kamar? Atau bisa untuk koleksi, kita masukan ke dalam kotak korek api lalu suatu hari nanti, mungkin sudah 10 atau bahkan 30 kotak terkumpul sepanjang hidup kita. Atau benda imut yang satu ini bisa kita jadikan senjata dalam sebuah pertarungan saat tawuran antar kampung. Mungkin lawan kita akan menyerah saat kita ingin menempelkan upil kita kepada mereka, ketimbang kita mengacung-acungkan golok atau parang kepada mereka.
 
Hmmmm.. atau lebih kreatif lagi, upil bisa kita bentuk bulat seperti  kelereng, dikeringkan, lalu dijadikan semacam pernak pernik, mungkin gantungan kunci atau apapun lah yang membuat benda ini terlihat lebih indah.
 
Seketika itu juga saya bertanya, ‘Apa yah kira-kira motivasi Tuhan menciptakan upil dalam tubuh kita?’ Benda itu seringkali kita paksa keluar dari hidung kita saat merasa nafas kita mungkin sudah terasa sesak dengan keberadaan upil yang berdesakan di dalamnya. Sebuah pertanyaan lebih mendalam lagi muncul dalam benak saya, ‘Mengapa upil ada untuk dibuang?’, ‘Apakah keberadaannya senista itu sehingga malu untuk diakui?’ Malah kadang kita harus bersembunyi terlebih dahulu saat ingin mengeluarkannya agar tidak dicap sebagai orang yang tidak tahu etika.
 
Padahal, saya kadang berterima kasih kepada makhluk imut yang satu ini. Dia selalu menemani saya saat suka dan duka. Dia selalu ada dan rela saya tarik paksa saat saya sedang merasa kesepian, sendirian. Dan mulai berpikir, daripada bengong gak karuan, lebih baik saya mengupil. Dia pun selalu ada saat saya sedih. Upil rela mencairkan dirinya dan meluncur bebas bersama air mata saya yang menyasar masuk ke rongga hidung, seakan dia begitu mengerti kesedihan saya. Dan yang paling mengharukan bagi saya, makhluk imut ini selalu ada untuk mengingatkan betapa pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh ini. Karena semakin dia banyak hadir, menandakan bahwa lingkungan hidup kita ini banyak mengandung udara kotor yang terhisap melalui rongga hidung. Namun, dia rela untuk menjauhi kita saat tubuh kita berada dalam lingkungan yang memiliki udara yang bersih.
 
Upil… walaupun kau makhluk kecil yang terkadang dikucilkan dalam pergaulan bangsa. Selalu terbuang dan dicibir orang. Namun, hadirmu begitu memikat. Tak pernah kau tinggi hati walaupun memiliki sejuta manfaat. Kau tak pernah malu saat aku menyangkal merindumu.
Kau memberi insiprasi dalam hidupku. Tak pernah pamrih dalam hidup. Tak pernah menuntut walau dikucilkan dalam pergaulan. Ku doakan semoga suatu saat nanti, Tuhan kan mengangkat derajat kalian para upil menempati tempat terhormat dalam jajaran semesta raya ini.

*Renungan (aka hasil begongan) sepanjang jalur selatan menuju pantura, Mudik 2011

#Random Words 7

Hidup itu membutuhkan…
Peta, agar tidak salah menentukan arah dalam melangkah
Parasut, agar tidak terlalu sakit saat jatuh
Payung dan Jas Hujan agar tetap terlindung dari hujan ataupun badai
Komputer, untuk menyimpan semua memori indah dan menyakitkan
Dan hidup ku butuh..
Kamu.. untuk hadir temani setiap nyata dan mimpi ku
Bersama…
Di sisiku..
Kuharap dapat selalu…