Friday, April 22, 2011

Life with No Regrets

‘Jadi Paskah tahun ini hasil perenungannya apa nih?’

Dari kalimat tanya yang terlontar dari sebuah chatting melalui Blackberry Messenger, saya memulai perjalanan refleksi saya hari itu.

Memang selama 40 hari masa Pra-Paskah tahun ini, saya banyak menghabiskan waktu saya dengan bekerja keras pagi sampai malam. Moment yang saya ingat selama 40 hari in hanyalah sebatas ritual yang dilaksanakan di Gereja. Sepertinya tidak ada suatu hal yang istimewa yang saya lakukan selama 40 hari ini. Karena jujur, saya masih sibuk dengan kegalauan hati yang kunjung habis. Sehingga makna sebuah masa Pra-Paskah terasa kering dalam hati saya. Tapi ada sebuah pernyataan dari seorang pastor yang saya ingat sampai dengan detik ini.

Saat itu, dalam ruang berukuran 1 x 2 meter, saya bersujud di depan seorang pastor untuk melakukan pengakuan atas dosa yang saya lakukan. Setelah melakukan pengakuan atas beberapa kesalahan, sang pastor mulai memberikan nasihat kepada saya. Namun, di tengah nasihat tersebut, saya memotongnya dengan berucap,

’Oh iya Pastor, ada satu hal yang saya masih pendam. Saya masih belum bisa memaafkan seseorang yang menyakiti hati saya teramat dalam. Saya masih marah dengan dia sampai dengan saat ini.’

Dengan sebuah senyum simpul, Pastor itu mendengarkan kesalahan terbesar saya saat tersebut, lalu dia berucap,

’ Dalam hidup ini, Tuhan dengan baik mau memberikan pengampunannya kepada kita. Kamu senang gak kalau kesalahanmu diampuni oleh Tuhan? Jadi sudah sewajarnya kalau kita diberikan pengampunan oleh Tuhan, kita juga mau membagikan pengampunan itu kepada orang-orang di sekitar kita, terutama yang menyakiti kita teramat dalam.’

Dalam seketika itu, ingin rasanya air mata ini menghambur deras dari sudut mata saya, namun coba saya tahan dengan sepenuh usaha. Ada rasa sesal yang mendalam atas sikap saya ini. Sesal akan banyak hal. Sesal atas sebuah kegagalan ’prestasi’ hidup yang pernah terjadi. Namun, lebih menyesal lagi bahwa selama ini saya menanam rasa marah berlarut dan tidak pernah dengan tulus memberikan pengampunan itu.

Setelah kejadian itu, saya sadar bahwa penyesalan akan menahan kita untuk maju melangkah dalam hidup. Penyesalan hanya akan membuat kita terdiam meratap hidup yang harusnya terus berjalan ke depan. Yah.. karena hari esok lah yang akan dapat kita usahakan,  bukan sebuah masa lalu yang telah menjadi sebuah prasasti hidup yang hanya bisa kita kenang dan menjadikannya sebuah pengalaman dan pelajaran.

Sekarang tugas saya adalah memberikan pengampunan itu kepada mereka yang menyakiti saya teramat dalam. Bukanlah sebuah kata pengampunan yang mudah terlontar dari bibir saya. Namun, pengampunan dengan ketulusan hati ini. Karena suatu hal yang dimulai dengan ketulusan, pasti akan berbuah baik di akhir cerita.

Sunday, April 17, 2011

Bonus of Making Sincere Relationhip

‘Sebenernya, yang lagi loe cari tuh calon suami atau sekedar teman ngobrol sih?’

Sebuah pertanyaan sederhana yang cukup menghujam jantung hati saya. Setelah mendapat pertanyaan itu, seketika saya langsung terdiam layu. Tak menyangka prosesi curhat saya harus diakhiri dengan sebuah pertanyaan yang saya sendiri pun tidak tahu jawabannya. Namun, saat itu saya merasa semakin tersudut dengan pertanyaan itu, saya impulsif menjawab,

‘Yah.. yang gue cari sekarang emang calon suami.. Secara umur udah seperempat abad nih..’

Jawaban impulsif yang terlontar dari bibir saya ini, langsung diamini oleh teman saya ini. Dengan hasil analisa atas perilaku saya selama ini, teman tersebut langsung menambahkan beberapa hasil observasinya terhadap saya.

‘Coba deh, loe pikirin lagi. Ada identitas orang itu yang berbeda sama loe des. Loe kan anaknya serius kalo mau menjadikan seseorang itu temen loe. Loe harus tau dulu semua hal dari A sampai Z nya orang itu. Kalo loe yakin, bahwa sesuai sama criteria, loe baru jalanin. Bener kan? Lagian, gue lihat laki itu gak cocok deh sama loe yang serius dan sulit di direct sama laki-laki’

Damn !! Mendengar penjelasannya yang terlalu premature itu, saya pun semakin layu dan kuncup. Hujanan penilaian terhadap personalitas itu begitu membuat saya enggan berkonsentrasi melanjutkan kerja pada pagi itu. Lalu mulai muncul banyak pertanyaan dalam diri saya.

‘Apakah benar, gue ini orang yang selalu serius dalam menjalani hidup?’

‘Apakah salah, jika saya ingin tahu identitas orang lain, yang sudah saya ketahui bahwa orang tersebut memiliki intensi yang lebih dari sekedar menjadi teman dengan saya?’

‘Apakah benar, saya terkesan begitu keras kepalanya, sehingga terkesan sebagai perempuan yang tidak mau diarahkan oleh mahkluk bernama laki-laki?’

Atau, jangan-jangan, teman saya yang baik ini sebenarnya belum begitu mengenal saya apa adanya. Belum mengerti siapa saya sebenarnya. Bahwa dalam dunia profesionalitas, saya harus mencitrakan diri saya sebagai orang yang lebih menggunakan mindset atau kemampuan analisa berpikir ketimbang dengan perasaan. Sehingga teman saya yang baik ini akan jarang sekali melihat saya menggunakan kepekaan perasaan saya selama berinteraksi di dunia professional.

Selain itu, saya yakin bahwa hampir semua orang di belahan dunia ini akan bertanya lebih detail mengenai identitas seseorang saat muncul intensi lebih dalam menjalin sebuah hubungan pertemanan. Intensi yang lebih dari sekedar teman. Karena disadari atau tidak, konsep Bhineka Tunggal Ika yang selalu dipelajari saat sekolah dulu hanya efektif dijalankan dalam konsep pertemanan dan hubungan professional, namun tidak dengan konsep mencari pasangan hidup. Karena sederhananya, dalam mencari pasangan hidup, seseorang tidak hanya menjalin hubungan dengan sang kekasih, namun juga dengan seluruh keluarga dari kekasihnya itu. Dan masih banyak keluarga Indonesia yang ingin bahwa keturunannya dapat menjaga adat istiadat leluhur dengan memiliki pasangan hidup yang sama identitasnya dengan yang mereka miliki. Begitupun dengan keluarga saya yang masih memegang teguh adapt istiadat leluhur dalam menjalankan kehidupan kami. Jadi, kesimpulannya adalah wajar bila saya bertanya dan mempertimbangkan lebih detail identitas dari seseorang yang memiliki intensi lebih terhadap diri saya.

Untuk pertanyaan terakhir, ‘Apakah saya perempuan yang sulit diarahkan oleh mahkluk yang bernama laki-laki?’. Untuk pertanyaan ini, saya menyadari dan mengakui bahwa saya memang seorang perempuan yang selalu mencoba untuk hidup mandiri dan memiliki visi-misi ke depan dalam hidup saya. Namun bukan berarti saya seorang perempuan yang keras kepala yang tidak bisa dan tidak mau diarahkan oleh laki-laki. Saya orang yang amat senang untuk dimanja dan diberi pengertian oleh pasangan saya. Dengan sebuah kesabaran dan pengertian, seorang laki-laki akan dapat berhasil mendapatkan hati dan perasaan saya. Otomatis di tahap tersebut, arahan hidup orang tersebut akan saya selalu saya pertimbangkan. Karena saya pun paham benar, bahwa sebagai perempuan saya adalah second person setelah pasangan saya. Pun, saya paham benar bahwa sebagai adanya kewajiban seorang perempuan menjaga wibawa dari pasangan hidupnya. Jadi tidak ada alasan yang kuat untuk saya tidak mengikuti arahan hidup yang diberikan oleh pasangan saya kelak.

Dari semua hal tersebut muncul kesimpulan lain lagi dalam diri saya. Prosesi curhat dalam lingkungan professional memang tidak akan efektif. Pemilihan pasangan hidup sebaiknya akan saya konsultasikan kepada teman yang memang pernah menjadi saksi mata atas semua perilaku personal saya, bukan teman yang melihat saya dari sudut pandang profesionalitas. Dan tentunya, selalu saya akan menempatkan pertimbangan keluarga sebagai prioritas pertama.

Jadi, daripada kuncup dan layu memikirkan pertanyaan dan analisa prematur teman saya itu, lebih baik saya sibuk membuka diri dan hati saya. Sekedar berteman baik pun tidak ada salahnya dilakukan. Bahwa suatu saat nanti, dari sekian teman laki-laki yang ada akhirnya saya pilih menjadi seorang pasangan hidup, itu adalah sebuah bonus dari ketulusan akan sebuah hubungan pertemanan.

Wednesday, April 13, 2011

My Heart is Open Recruitment

Biasanya setiap bulan, setelah segelintir uang masuk kedalam rekening sebagai upah rodi bekerja, saya selalu menahan diri untuk tidak berbelanja, paling tidak sampai dengan tanggal 15 setiap bulannya. Hal ini selalu saya lakukan, untuk menghindari terjadinya puasa , karena uang hasil kerja lenyap bergantikan sepatu, tas ataupun dres-dress lucu yang semakin memenuhi lemari.

Kalau bicara masalah aktivitas yang paling digemari perempuan sejagad raya ini, pastilah tak akan ada habisnya. Setiap bulan selalu ada saja trend atau model terbaru yang selalu menggoda mata ini untuk mengambil dan membelinya..  Apalagi di jaman serba mudah sekarang ini, dimana hampir semua toko di pusat perbelanjaan selalu dilengkapi dengan bermacam fasilitas bayar yang semakin mempermudah para perempuan untuk berbelanja. Selain itu ada banyak tawaran dari institusi kredit yang siap sedia menyediakan berbagai kartu ajaib. Yah, kartu ajaib yang hanya dilengkapi dengan verifikasi tanda tangan, barang-barang nan lucu pun siap untuk dibawa pulang.

Untungnya, saya bukan tipe perempuan yang senang berbelanja. Saat ingin membeli sebuah barang, selalu ada banyak hal yang dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum akhirnya menggesekkan kartu debit eletronik ke mesin cashier. Secara otomatis, otak ini langsung berimaji dengan banyak pertanyaan. Akan digunakan dengan apa barang ini? Apakah sebelumnya sudah punya barang serupa? Apakah terlihat bagus saat digunakan? Apakah di masa mendatang, barang ini dapat terus dipakai atau sekali pakai akan buang? Apakah harganya masuk akal? Apakah nyaman saat memakainya? Apakah barang ini cocok dengan saya? Apakah barang ini mewakili pribadi saya? Dan yang paling penting untuk dijawab adalah, Apakah barang ini worth it saya miliki karena saya butuh atau sekedar saya kagumi?

Untuk pertanyaan yang terakhir tadi, seringkali saya membutuhkan waktu 20-60 menit untuk mendapatkan jawabannya (wahhh... lama juga yah? Saya baru sadar).  Ternyata sekedar mencari jawab atas pertanyaan itu otak saya terpaksa untuk bekerja keras. Ternyata untuk menemukan jawaban atas kebutuhan dan sekedar rasa kagum membutuhkan proses yang luar biasa panjang.

Kadang kita merasa tertarik bahkan jatuh cinta terhadap sebuah barang. Rasa ketertarikan kita membuat kita untuk berusaha mencari kelebihan, bahkan keunikan dari barang tersebut. Ketertarikan itu kadang kala membuat kita penasaran lebih lanjut, sehingga beberapa usaha dilakukan, seperti mencari informasi dari internet, tanya ke teman yang berpengalaman, maupun datang langsung ke tokonya untuk bertanya kepada penjual ataupun berinteraksi langsung dengan barang tersebut. Setelah informasi itu ada, lalu kita pun akan berpikir apakah kita langsung membeli untuk memilikinya atau mengurungkan niat sebentar, karena ternyata harganya mahal dan kita belum cukup mampu untuk memilikinya. Mungkin setelah sekian usaha dilakukan, kita akan merasa mampu untuk mendapatkan barang tersebut. Atau mungkin, kita pergi dan tidak jadi membeli, karena kita anggap barang itu tidak cukup berarti kita miliki.

Bila dilihat dari proses persepsi yang sedemikian rumit, mungkin hal inilah yang menjadi jawaban atas kendala saya dalam menentukan pasangan. Saya terkadang butuh waktu yang sangat lama untuk memastikan seseorang akan saya jadikan pasangan atau tidak. Memang lamanya relatif, tergantung interaksi dan kecocokoan dengan orang tersebut. Dan yang paling penting adalah, Apakah laki-laki ini cukup worth it untuk saya menjalin hubungan dengannya atau tidak? Apalagi untuk sebuah hubungan yang serius, banyak hal yang saya proyeksikan dan saya imajikan untuk masa depan. Namun, mengingat umur saya yang sudah tak muda lagi, kadang saya menjadi gundah gulana. Apakah  saya akan melakukan pilihan impulsif dengan banyak orang dan melakukan banyak hubungan trial-eror... atau tetap pada kebiasaan saya dalam memilih.. Kembali merenung dan merasa dalam waktu yang relatif lama untuk mendapatkan satu pilihan yang tepat untuk sebuah masa depan cinta...

Monday, April 11, 2011

Kicauan Monolog #1

10th April 2011

10:16 pm
Terdampar di pojok ruang ini.. Sendiri selalu

10:17 pm
Enjoy talk to myself.. Alone..Again..

10:20 pm
Stuck here, with no movement

11:58 pm
If only there were signs to show me which direction I should go


11th April 2011

05:50 am
Selamat pagi Tuhan pemberi rezeki kehidupan.. Semoga semangat yang Kau berikan selalu berkobar dalam diriku..

06:40 pm
Doohh.. Situ kayak Insert deyh.. Gosyip aja sukanya

06:51 pm
Anjrit.. Tiba-tiba galau sendiri denger lagunya 'You Are My Everything' 98 Degress.. Am I Okay?

07.15 pm
Tanpa rasa sama sekali.. *bingung to the max

07:18 pm
Mati satu, gak tumbuh-tumbuh

07:22 pm
Ingin bicara tak tau katakan apa, pada siapa, karena apa, jadi mengapa, inginkan kapan, akankah dimana, bagaimana caranya

07:22 pm
Hati bicara, bibir terdiam...

07:30 pm
My eyes are no tears to cry

*Kicauan Monolog absurd yang entah untuk siapa dan mengapa.. Hanya terlontar begitu saja..