Monday, December 22, 2008

Potret Kehidupan

Di suatu sabtu sore, Pacarku mengajak aku untuk makan malam bersama menghabiskan malam minggu berdua. Karena cuaca dan angin pada sore itu memiliki intensitas yang cukup tinggi, maka kami berdua memutuskan untuk makan di suatu food court di sebuah kawasan Giant Hypertmart yang berada dekat dengan rumahku. Sebetulnya aku kurang suka ke sana, karena aku kurang setuju dengan pembangunan dari tempat perbelanjaan itu. Memang di daerah rumahku, yaitu Pulo Gebang-Cakung, terdapat beberapa kompleks perumahan dari yang medium sampai yang sangat mewah. Dan aku mengerti bahwa tempat perbelanjaan itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan dari para penghuni di beberapa kompleks perumahan itu. Namun, yang sangat aku sesalkan, pusat perbelanjaan itu dibangun di areal yang dekat dengan pemukiman penduduk yang aku tau bahwa tingkat ekonomi mereka di bawah tingkat sejahtera. Aku merasa keberadaan pusat perbelanjaan tersebut memaksa penduduk sekitar, untuk lebih konsumtif dan mengikuti gaya hidup metropolis. Namun, yah apalah arti ketidaksetujuanku. Toh, aku tak bisa berbuat banyak dengan semua keputusan bisnis itu.

Kembali ke makan malam, saat itu, kami berdua tertarik untuk mencicipi dua porsi nasi dan ayam bakar serta seporsi cap cay untuk kami berdua.
Kami berdua sangat menikmati hidangan yang tersedia pada sore itu. Ditambah dengan rasa kangen karena seminggu tidak bertemu. Kami makan dengan lahap sambil berbicang seputar aktivitas kami seminggu terakhir.
Setelah makan selesai, kami memutuskan untuk tetap tinggal di bangku duduk untuk beberapa waktu sambil menurunkan makanan dalam perut kami. Tiba-tiba ditengah perbincangan kami pacarku mengajakku untuk menajamkan observasi kami, terhadap dua anak yang menarik perhatiannya. Memang harus kuakui, semenjak berpacaran denganku yang sarjana Psikologi ini, pacarku sedikit menyerap kemampuanku untuk mengobservasi orang lain. Maka jadilah dia seorang sarjana Teknik Elektro yang memiliki pengawasan tajam terhadap situasi dan kondisi orang lain..

Lalu kami mulai menajamkan konsentarsi untuk observasi. Pacarku memulai instruksinya,

“Coba deh kamu lihat dua anak kecil itu”

“yang mana”, sahutku

“Yang pakai kaos orange dan yang pake kaos hitam”, katanya menambahkan

“Oh yang itu, kanapa mereka?”, lanjutku

“Dari tadi aku perhatiin mereka. Mereka masa' dari tadi muter-muter dan ambil makanan bekas orang lain yang masih sisa di sini”, katanya

“Masa' sih?” jawabku tak percaya.

“Iyah, dari tadi aku perhatiin mereka begitu..tuh..tuh..lihat mereka ambil jus sisa orang yang meja itu. Mereka minum. Jus nya tinggal segini.” katanya menambahkan sambil menunjukkan kira-kira sisa jus yang tersisa di gelas itu dengan ibu jari dan telunjuk dari tangan kirinya.

Lalu kami sepakat untuk tetap tinggal di situ beberapa waktu lagi sambil memperhatikan tingkah kedua anak yang ditunjuk oleh pacarku. Kedua anak itu terlihat berumur 8 atau 9 tahun, yah, sekitar kelas 2 atau 3 SD. Memang sih, aku melihat kalau mereka sempat berjalan keliling area food court tempat kami makan. Namun, bila dilihat dari penampilan mereka yang sangat rapi dan bersih tak terlihat seperti mereka kekurangan uang untuk membeli makanan. Lagipula, aku lihat mereka sesekali berada di tempat bermain yang telah disediakan oleh pihak pengelola.

Namun, beberapa menit kemudian, aku sempat dikejutkan oleh suatu kenyataan yang langsung kulihat dengan mata kepala ku sendiri.

Dua anak itu mereka sambil bercanda, namun seakan mata mereka begitu sigap dan sedang mengambil ancang-ancang untuk bergerak. Lalu, mereka sambil bercanda berjalan ke arah tengah dari area food court itu. Dengan secepat kilat mereka mengambil sepotong ayam goreng yang sudah setengah termakan sisa dari pemilik makanan sebelumnya. Lalu mereka dengan santainya berjalan keluar area food court untuk menikmati ayam sisa hasil tangkapan mereka. Seketika itu juga aku terkejut melihat apa yang terjadi. Apa yang mereka lakukan? Kemana orang tua mereka? Apa rasanya makan sisa makanan orang lain yang tidak mereka kenal?

Seketika itu juga aku ingin menghampiri mereka dan menanyakan mengapa mereka melakukan hal itu? Rasanya miris hatiku melihat kejadian itu. Kalau mereka memang lapar, aku tak segan membuka dompetku untuk membelikan mereka sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang mereka suka.
Aku sudah berdiri dengan dompet di tanganku. Namun, tangan pacarku menahan aku.

“Nanti dulu yank... kita panggil aja anaknya ke sini. Biar bisa kita ajak ngobrol juga. Nih, aku panggil yah.”, katanya, sambil melambaikan tangan.

Lalu, kupikirkan sejenak. Betul juga, lebih baik kita memanggil mereka ke tempat kami daripada saat kuhampiri mereka menjadi ketakutan. Dalam keadaan masih berdiri dan memegang dompet, aku juga ikut melambaikan tangan ke arah mereka. Namun, mereke tidak melihat lambaian tangan kami.

Lalu, aku kembali duduk sambil melihat dan mengawasi ke arah mereka.

“Duh, kasian sekali mereka. Aku gak tega yank melihat mereka makan bekas makanan orang.” kataku.

“sudah aku samperin saja.” lanjutku.Pikirku, lebih naik disangka penculik anak daripada aku tega membiarkan mereka mengambil sisa makanan orang lain dan mengendap-endap seperti pencuri.

“Iyah, bener. Aku cuma takut mereka kebiasaan makan dan ngambil makanan sisa orang. Mungkin ini baru hal kecil, tapi kalau terus begitu, bisa-bisa mereka nekat ngambil di Giant lagi.” kata pacarku menambahkan.

“Ya udah lah, aku samperin mereka ajah. Kita kasih makan. Toh, cuma dua orang ajah. Masih cukup kok uangnya.” kataku lagi.

“aku cuma kasihan. Kan gak tau apa ada penyakit yang terjangkit di bekas makanan itu.” kataku menambahakn, sambil bersiap menghampiri mereka lagi.

Namun, kulihat, ternyata saat ingin kuhampiri, mereka malah menjauh dan masuk kembali dalam arena permainan bersama dengan teman-teman mereka yang lain yang jumlahnya menjadi sekitar 10orang. Mereka kembali masuk dan tertawa bersama yang lain, seakan sudah kembali bertenaga dan siap bertarung dalam arena permainan gratis itu.