Monday, May 16, 2011

Phileo Love



“Kalau boleh tau, berapa persen kemungkinan loe bakal jatuh cinta sama gue?”

“Saat ini gue juga bingung untuk menjawab. Tapi kalo insist mungkin 74% forecastnya.”

“Jangan pernah jatuh cinta sama gue yah.. Cinta Cuma bikin hubungan kita gak asik. Yaa jaim lah.. Yah sebel2an lah.. I just never wanna loss you.”

”Kalau elo, gak ada kemungkinan jatuh cinta yah? Sama gue pastinya.”

”Gue nyaman berinteraksi dengan loe. I don’t know.. kalau rasa nyaman itu meningkat.. Gue rasa, I can’t refuse to fall in love with you.”
*Sebuah jawaban yang seharusnya adalah “You know, it’s hard for me not to fall in love with you..”

Picture source : www.poundingheartbeat.com

You are the Unexpected Person


"Rejection doesn't hurt. Expectation does."

Untuk menghabiskan waktu saat akhir pekan, biasanya saya mampir ke pusat perbelanjaan yang banyak tersebar di Jakarta Raya, ini yang sering disebut dengan mall. Dalam keramaian mall ada yang menarik perhatian saya. Senyum-senyum penuh ketulusan yang tak pernah henti mengembang saat menawarkan aplikasi kartu kredit. Entah berapa orang yang telah mereka tawari untuk mengisi aplikasi tersebut. Mungkin ratusan atau bahkan ribuan orang. 

Satu hari dengan iseng saya mencoba untuk berjalan beberapa kali melewati stand aplikasi tersebut. Saat itu, kurang lebihnya 5 kali saya bolak-balik. Begitu terkejutnya saya saat senyum-senyum penuh ketulusan itu tetap mengembang ke arah saya dan dengan semangat yang sama mereka tetap menawari saya untuk melakukan aplikasi produk kartu kredit mereka.

Entah apa yang saya rasakan saat itu. Yang pasti, dada saya tiba-tiba berdegup tak henti, seakan menampar hati ini..

Jelas dalam ingatan saya, setiap tahun baru dengan berbagai pesta perayaannya, saya pun selalu menuliskan resolusi yang ingin saya gapai dalam waktu satu tahun ke depan. Memang, saya bukanlah orang yang masuk dalam golongan Result Oriented. Kalau boleh mengelompokkan diri, saya lebih senang berada dalam kelompok Process Oriented, di mana proses dalam setiap pencapaian menjadi terasa lebih bermakna ketimbang pencapaian itu sendiri. Banyak tantangan yang harus dihadapi sebagai orang yang masuk dalam golongan ini. Saya harus siap menerima setiap kejutan yang ada saat proses berlangsung. Kejutan berupa kegagalan atau keberhasilan dalam sebuah proses pencapaian.

”Apakah saya masih bisa tersenyum dengan tulus dan dengan semangat yang sama tetap berdiri tegak menghadapi kegagalan dalam sebuah proses pencapaian?”

Terkadang dalam proses pencapaian bukanlah kegagalan yang kita takutkan. Kita lebih khawatir bahwa proses yang terjadi tidak sesuai dengan yang apa kita harapkan. Padahal sadar atau tidak, kegagalan adalah sebuah hal wajar terjadi. Kegagalan mengingatkan kita untuk melihat kembali seberapa besar usaha kita. Kegagalan mengingatkan kita kembali untuk berserah Kepada-Nya yang selalu ada saat kita gembira, sedih, galau, berhasil, atau dalam keadaan terpuruk sekalipun.

Masalahnya adalah, bagaimana sikap kita dalam menggapai sebuah ekspektasi? Apakah kita lebih suka mengejarnya dengan sekuat tenaga, memastikan semua tahap dari proses pencapaian berhasil dijalankan? Ataukah menjalani semua dengan penuh ketulusan. Meyakini bahwa akan berhasil mendapatkan hasil yang terbaik dari proses yang dijalani. Baik atau buruk proses yang dijalani, toh itu hanyalah tahap dalam pencapaian yang menjadikan kita lebih baik lagi dari hari ke hari...

Something Gonna Happen


"Terus, kira-kira ending nya apa? Sad or Happy Ending"

Did you think about the ending?
Should I have to choose it, between happy or sad ending? Is it would be end up?
If you think about the ending, I would prepare my own parachute that help me fall down safely to the ground.


And it's okay if you have to go away
Oh just remember the telephone work in both ways
And if I never ever hear them ring
If nothing else I'll think the bells inside
Have finally found you someone else and that's okay
Cause I'll remember everything you sang..

-Jason Mraz on You and I Both-

Sunday, May 15, 2011

After Life


Sewaktu sekolah menengah atas, saya memiliki beberapa teman yang saat itu terkumpul dalam sebuah grup band beranggotakan 5 orang. Dengan alibi membangun keakraban antara personil yang satu dengan yang lainnya, berkumpul menjadi sebuah ritual bagi kami. Aktivitas berkumpul ini bisa kami lakukan di mana saja sesuai dengan ide yang muncul saat itu.

Suatu hari di malam minggu, kami memutuskan untuk mencari angin malam di sebuah pantai terkenal di Jakarta, Ancol. Di sana kami dengan perlengkapan seadanya, yaitu tikar, gitar, dan beberapa makan kecil mencoba mengisi malam kami itu dengan berbagai kegiatan tawa dan canda. Ada-ada saja ulah kami saat itu, dari bernyanyi setengah berteriak di tengah pantai, sampai mengintipi orang yang sedang asik memadu kasih di pantai itu (pantai ini memang terkenal dengan mobil goyang dan juga perahu goyang.. bahkan pohon dan motor pun ikut bergoyang. hihihihi).

Tanpa terasa, keasyikan kami berjalan sangat cepat sampai-sampai saat kami lihat jam tangan kami masing-masing, waktu sudah menunjukkan pukul 00.30 (waktu Indonesia bagian barat, tentunya). Dan entah mengapa, waktu yang telah larut ini memberi kami inspirasi untuk menguji nyali muda kami saat itu. Kuat dalam ingatan kami, saat itu sedang tren beberapa film hantu lokal di beberapa bioskop (pada saat itu, film horor sedang jaya tanpa ada embel esek-eseknya).

Kebetulan, dalam area Ancol ada sebuah kuburan Belanda yang terkenal yaitu, Ereveld. Dan menjadi sangat kebetulan, pantai tempat kami bercanda tawa itu letaknya dekat dengan areal perkuburan tersebut. Entah ide gila apa yang ada saat itu, akhirnya kami semua sepakat untuk mengunjungi kuburan tua itu.

Dalam 5 menit saja, kami sampai di depan perkuburan tersebut. Kuburan itu terlihat terawat dengan baik. Kebetulan saat itu pintunya sedang tertutup, jadi kami hanya memandanginya dari balik pagar seakan-akan sedang ingin mencari teman untuk kami ajak bermain.. Tanpa diduga, saat itu seorang Bapak menghampiri kami. Bapak itu mengaku sebagai si penjaga pintu dan menawarkan kami masuk ke dalam areal perkuburan itu. Dengan sedikit ngeri, kami pun menerima tawaran sang bapak untuk masuk ke dalam areal perkuburan. Tentunya ajakan itu kami terima setelah memastikan bahwa kaki si Bapak penjaga pintu memang benar menginjak tanah. (hehehe...)

Karena areal perkuburan ini terawat dengan baik, kesan horor seperti adegan di film pun tidak begitu kental mengelilingi kami. Dan kami pun mengakhiri tour kuburan kami malam itu di Ancol dengan selamat dan tidak mengajak ’makhluk’ terbaring itu bersama kami pulang.

Ternyata pengalaman itu membuat kami ketagihan dan ingin mencoba dengan kuburan yang punya predikat ’Lebih Seram’ lainnya. Dan mulailah, setiap minggu nya kami berjalan-jalan malam mengelilingi ibukota seperti tim pencari hantu dalam film ’Jailangkung’ atau film-film horor lainnya. Namun, tetap dalam upaya uji nyali tersebut kami pun membawa atribut keagamaan, in case untuk menangkal ada makhluk yang ingin ikut dengan kami atau pun sekedar ingin berkenalan dengan masuk ke dalam tubuh dari salah satu di antara kami. (membayangkannya saja saya sudah merinding apalagi sampai kejadian.. Amit..amit...).

Dari kuburan Jeruk Purut sampai Rumah Kentang di Pondok Indah pun sudah kami sisir. Sederhana saja, kami hanya ingin merasakan kengerian yang terjadi dari setiap cerita misteri yang pernah kami dengar. Padahal, setelah kami semua beranjak dewasa kami baru sadar bahwa aktivitas kami ini bukanlah sebuah prestasi yang dapat dibanggakan. Karena toh, setiap kuburan yang kami datangi hanya berisi seonggok tanah yang di dalamnya hanyalah sebuah jasad terbaring yang tentunya sudah tak bernyawa lagi. Toh semua jasad terbaring itu dulunya pun sama seperti kami, yaitu manusia.

Mungkin yang membedakannya adalah cerita-cetia yang terbangun masyarakat tentang sepak terjang orang per orang yang sudah tanpa nyawa itu. Ada yang akhirnya dikenang sebagai orang yang memiliki banyak jasa dan kebaikan.. Mungkin juga ada yang lebih dikenal dengan sebagai sosok misteri yang mungkin dapat menumbuhkan rasa penasaran kepada setiap manusia yang masih hidup di dunia ini. Dan akhirnya, seperti apa kita nanti akan dikenang, semua itu kembali kepada masing-masing dari kita. Apakah akan dikenang sebagai seorang yang memberikan banyak kebaikan dan inspirasi. Ataukah kita akan dikenang dengan penuh kengerian dan misteri yang akan nembuat bergidik banyak manusia yang masih hidup di dunia ini setelah kita beristirahat dan masuk ke alam yang lain.

Sampai Kapan

Diriku cinta dirimu dan hanya itulah satu yang aku tak jujur kepadamu...

Apple on the Treetop


‘Loe tuh sebagai perempuan terlalu perfect, Mba.. Gue aja adore sama loe. Sebagai perempuan, loe tuh terlalu kuat mba.. Makanya loe harus dapat pasangan yang lebih dari loe segalanya. Lebih dalam hal pengetahuan, idealisme hidup, karir, cara pandang. Yah.. semua hal deh, dia harus lebih dari loe. Dan banyak teman-teman tuh yang adore juga sama loe, seperti gue mengidolakan loe, Mba”

Dari sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh teman saya melalui media chatting BlackBerry Messenger saya mendapatkan kata-kata ini. Terus terang, saat mendapatkan pengakuan dari teman saya ini, bukan rasa senang atau pun tersanjung yang muncul dalam benak dan hati saya. Namun rasa resah dan khawatir yang tiba-tiba terlintas.

Sehebat dan sesempurna itukah saya dimata rekan-rekan saya?Betulkah hanya seorang laki-laki yang sama sempurnanya yang bisa mendapatkan saya? Wuahhh, bakal ribed juga yah hidup gue? Orang bakal ngeri bergaul sama gue nih. Am I too perfect?

Karena ternyata bukan hanya teman saya ini yang berani mengutarakan pendapatnya kepada saya. Suatu hari saya pun pernah mendapatkan penilaian yang sama dari seorang teman yang baru mengenal saya beberapa minggu terakhir ini.

’Loe terbuat dari apa sih, Dess? First impression gue sama loe tuh perempuan yang mandiri. Bisa menjalani hidup sendiri tanpa orang lain. Perempuan seperti loe akan membuat orang lain penasaran. Namun, sepertinya dahan yang menahan loe itu terlalu kuat dan tinggi yah.’

Sekali lagi muncul pertanyaan yang sama, Am I perfect person? Pertanyaan itu berulang kali terngiang dalam benak dan hati saya.. Selama ini saya menjalani hidup seperti orang pada umumnya. Mencoba mengikuti naluri dalam meraih mimpi.. Menjalani hidup apa adanya.. Mencoba mengusahakan yang terbaik untuk diri dan keluarga. That’s it.. Nothing special I think..

Memang tidak bisa dipungkiri, menyenangkan memang bisa menjadi seseorang yang berarti dan memberikan inspirasi kepada orang lain. Namun, menurut saya, apalah artinya saya bila akhirnya saya hanya bisa bertengger di atas pohon saya dan menjadi begitu tinggi untuk orang lain. Ibarat sebuah apel yang ranum karena matang di pohon, tentunya apel itu akan menjadi berguna bagi orang lain saat sudah dipetik dan dapat dinikmati dan memberikan manfaat bagi orang lain. Entah itu membuat orang lain menjadi lebih sehat akibat mendapatkan vitamin yang terkandungnya atau sekedar rasa bahagia karena mendapatkan rasa manis buah yang matang ranum itu.

Begitu pun saya. Diri ini akan menjadi berguna untuk orang lain bukan karena orang lain melihat saya hebat atau lebih dari orang lain. Mendapatkan banyak decak kagum dan pujian. Namun, saya akan merasa lebih berguna bila bisa menorehkan rasa bahagia dalam hati banyak orang.

Dan berharap akan datang seseorang dengan penuh keberanian memanjat ke atas dahan pohon apel itu dan dengan penuh kesajahaan membawa saya dengan aman sampai ke bawah dan membiarkan diri ini lebih banyak lagi memberikan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitar pohon itu.

*Image diambil dari Profile Picture tetangga sebelah dalam contact list BlackBerry Messenger

Saturday, May 14, 2011

Mencari Si Mitri


Dalam sebuah perjalanan, pikiran saya tiba-tiba melayang ke masa 8 tahun lalu saat saya masih menggunakan rok berwarna abu-abu dengan kunciran dan dandanan super cupu. Sangat jelas dalam ingatan saya, saat itu saya begitu penasaran akan kehidupan saya di masa periode usia 25 tahun.

Saat itu saya bertanya-tanya,

Pada usia itu, kira-kira apa yang sudah saya lakukan? Apakah saya akan menjadi seorang wanita karier? Apakah saya sudah menikah dan membina sebuah keluarga? Memiliki seorang atau dua orang anak yang lucu sambil membina karier bersama dengan suami saya.

Dari pertanyaaan dan angan tersebut, mulailah saya bertanya dalam diri saya. Yang saya bayangkan saat itu adalah, setelah SMA, saya akan masuk perguruan tinggi dan setelahnya menikah dengan laki-laki yang menjadi kekasih saya saat itu. Sebuah pikiran yang terlalu serius untuk anak seusia saya pada saat itu.

Keseriusan itu, coba diimani oleh saya. Selepas SMA, saya belajar dengan rajin dan menjalani beberapa hubungan personal yang serius. Karena dalam benak saya, di antara usia 25, saya sudah akan membangun sebuah kehidupan yang mandiri baik dari segi finansial maupun dalam kehidupan personal.

Dalam hal pendidikan dan mengejar gelar sarjana, tentunya keseriusan saya ini tidak perlu diragukan lagi. Saya berhasil menyelesaikan study saya selama 3 tahun 9 bulan. Begitu pun dengan urusan percintaan atau personal. Betapa saya ingat, saat di awal kuliah saya sempat berpacaran serius dengan seorang kakak kelas yang nyatanya berbeda keyakinan dengan saya. Saat itu, keseriusan saya terwujud dari banyaknya membaca literatur tentang hubungan beda identitas dan juga intensif beraktivitas dengan dia dan keluarganya. Begitu pun sebaliknya. Tak lepas juga dari ingatan saya, bagaimana kami telah membuat sebuah bagan rencana kami setelah saya menyelesaikan studi. Dan di sana tertulis, pada usia 25 saya sudah akan memiliki seorang anak. Saat itu semuanya terasa begitu dekat, jelas, dan terukur.

Nyatanya setelah bagan itu tercipta, kami malah memutuskan berpisah. Seketika itu, rasa dan kecocokan antara kami hilang menguap begitu saja. Setelah itu saya membina hubungan serius saya dengan pria yang lainnya. Mendekati usia 25 tahun, hubungan kami memasuki tahun keempat, dan begitu optimisnya saya akan rencana seperti saat SMA dulu. Namun, realita berkata lain. Satu minggu setelah saya berusia 25 tahun, kami sepakat mengakhiri hubungan kami.

Ternyata, realita baru ini menghenyakkan saya akan sebuah kewajiban baru bagi saya untuk tetap bersemangat memenuhi cita-cita masa muda saya. Memang, saat itu beberapa ’proposal’ rasa diberikan kepada saya. Dan tugas saya hanya satu, Mencari Chemistry untuk setiap proposal yang ada.

Bila berbincang tentang chemistry atau lebih sering saya sebut sebagai Si Mitri (agar terlihat lebih akrab dan bersahabat dengan mahkluk yang satu ini), tentu akan banyak pendapat untuk setiap orang. Hampir semua orang di dunia merasa yakin bahwa Si Mitri memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan personal kita dengan orang lain, entah itu dengan keluarga, teman, pasangan hidup, atau bahkan dengan musuh sekalipun Si Mitri tetap memiliki sebuah peran yang penting. Dalam aktivitasnya, makhluk ini mampu menjadikan sebuah pengalaman penuh dengan rasa.

Mengutip sebuah pernyataan seorang teman yang membangun hubungan rumah tangga atas hasil dari sebuah perjodohan, ”Rasa cinta dan kecocokan datang karena terbiasa. Terbiasa beraktivitas bersama, berkomunikasi berdua. Jadi buat apa pusing dengan Si Mitri. Toh, dia hanya bumbu rasa ajah.”

Lain lagi, pendapat teman saya yang lainnya, ”Buat apa ada Si Mitri. Emang nya dia bisa bikin kita kenyang dan bahagia. Toh, yang penting punya pasangan yang modalnya besar, jadi bisa memenuhi rasa bahagia kita lahir bathin.”

Atau curahan hati seorang sahabat yang sudah sangat merindu pasangan hidup di sampingnya. ”Kenapa yah.. gue selalu nervous saat ketemu orang yang menurut gue udah sesuai kriteria gue banget. Akhirnya gue malah gak dapet apa-apa dari dia dan Cuma gigit jari karena udah keburu jiper sama itu sosok sempurna.”

Dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman orang di sekeliling saya mengenai Si Mitri.

Entahlah.. Saya sendiri pun bingung bila harus berpendapat akan makhluk yang satu ini. Namun sampai saat ini saya sangat mengimani peran dari makhluk yang satu ini dalam menentukan arah perasaan saya. Karena saya setuju dengan kata-kata seorang pujangga bahwa, ”Cinta bukan hanya sekedar karena terbiasa, namun lebih karena adanya kecocokan jiwa.”

Teringat akan janji masa muda dulu dan realitas yang menyadarkan bahwa saya sudah tidak muda lagi. Muncul pertanyaan berulang kali dalam benak saya.

Apakah saya akan berkeras untuk menemukan Si Mitri atau membiarkan Si Mitri yang akhirnya akan menemukan saya?

Sunday, May 01, 2011

Jejak Kaki

Hari ini saya telah merencanakan sebuah petualangan untuk mengisi aktivitas kosong dalam akhir minggu ini. Petualangan ini berawal dari sebuah kegiatan iseng mendaftarkan diri dalam sebuah kompetisi nasional yang diadakan oleh sebuah portal fashion online. Dari pendaftaran ini, ternyata saya lolos tahap awal, yang berarti harus mengikuti tahap selanjutnya untuk sessi foto dan wawancara.

Sebenarnya, saya bukanlah tipe manusia yang antusias mengikuti kompetisi seperti ini.. Apalagi setelah tau lokasi foto dan interview yang sangat jauh letaknya dari rumah, menambah rasa malas dalam diri. Tapi untuk kali ini, saya mencoba keluar dari zona nyaman saya dan bertekad untuk mengikuti tahap selanjutnya. Bukan karena hadiah yang sangat menggiurkan, namun lebih kepada rasa ingin tahu dan sekedar melepas penat dalam diri saya.

Entah apa yang menggerakkan saya, semangat itu begitu besar. Pagi-pagi sekali setelah sempat menyapa Tuhan terlebih dahulu, saya berangkat ke lokasi acara dengan menggunakan transportasi favorit saya. Lalu dengan diantar oleh seorang bapak ojek, saya pun meluncur ke sana.

Memang, pilihan menggunakan ojek langganan untuk menuju ke lokasi foto dan interview bukanlah sebuah pilihan yang bijaksana. Selain karena biaya yang relatif mahal, saya pun menjadi tidak terbiasa untuk mengenal dan memahami angkutan umum yang telah tersedia. Namun, apalah artinya semua itu, toh esensinya sama saja. Yang penting, saya dapat sampai tepat waktu di lokasi, entah menggunakan ojek, angkutan umum, ataupun kendaraan pribadi. Toh itu hanya sekedar preferensi dari masing-masing orang dalam mencapai tujuan.

Setelah sampai di sana, saya mengikuti beberapa tahap dari foto, membuat video profile, dan juga interview dengan panitia pelaksana. Semua aktivitas itu berjalan lancar dan cepat, tidak sesuai bayangan bahwa kan ramai dan penuh antrian.

Setelah dari sana, saya memutuskan untuk pergi ke suatu tempat di pusat kota untuk membeli sebuah kado untuk mama yang esok hari akan berulang tahun. Kali ini, saya memutuskan untuk menyimpan uang saya dengan menahan diri pergi menggunakan taksi. Pilihan saya jatuh pada Trans Jakarta, yang kebetulan ada persis di depan gedung acara tersebut. Trans Jakarta adalah kendaraan khusus yang disediakan oleh pemerintah, yang mampu membawa kita ke beberapa tempat hanya dengan sekali bayar tiket. Dengan diiringi alunan lagu dari pemutar lagu dikantong , saya begitu menikmati setiap detik dan pemberhentian yang ada.

Karena menggunakan Trans Jakarta , saya diharuskan untuk berpindah armada untuk menuju tempat tujuan. Dari pemberhentian terakhir armada pertama menuju ke armada kedua, saya harus melalui sebuah jembatan panjang yang menghubungkan keduanya. Saat berjalan dalam jembatan itu, ada sebuah rasa yang bergejolak dalam diri saya.

Sepanjang jembatan itu. saya memperhatikan orang-orang yang berjalan di sekitar. Ada beberapa orang yang berjalan dengan ritme yang sangat cepat bahkan setengah berlari. Ada juga yang berjalan santai sambil bercanda dengan teman-temannya. Ada juga yang berjalan lambat dengan muka menerawang ke arah jalan atau bahkan tertunduk dalam melihat setiap langkah yang diambilnya. Kalau saya memilih untuk berjalan santai sambil memperhatikan sekitar saya. Dan saat itu, hati ini begitu bergolak entah mengapa.


Seketika itu, munucul banyak pertanyaan dalam diri ini.

"Apakah orang yang jalan cepat seakan terburu-buru karena memang ingin mengejar sesuatu atau karena memang gaya jejak kakinya memang seperti itu?"

Atau...

"Mereka yang berjalan lambat sambil menerawang entah ke mana, juga memiliki emosi yang sama dengan orang yang memilih untuk berjalan cepat?"

Terkadang kita tidak pernah sadar akan setiap jejak kaki yang kita lakukan. Tidak pernah sadar, bahwa jejak kaki yang kita lakukan adalah representasi dari emosi yang kita rasakan saat itu. Apakah jejak kaki kita adalah jejak santai, jejak terburu-buru, jejak penuh amarah, jejak kesedihan, jejak penuh kegembiraan, jejak harapan, jejak penuh optimisme, atau jejak dengan makna yang lain.

Setiap jejak kaki hari itu, seakan menghenyakkan saya dalam kesadaran. Saat ini, saya berada dalam ambang kebingungan atas apa yang saya rasa dan saya harapkan dalam hidup saya. Buktinya, hari itu di atas jembatan panjang itu, saya berjalan hanya dengan jejak jejak kaki pasti namun gontai, seakan ingin berempati atas perasaan hati ini. Yah.. memang semua akan kembali kepada saya.. Tetap melakukan jejak kaki sesuai perasaan ini, atau mengubah perasaan ini menjadi lebih baik dengan kembali mengatur jejak kaki saya agar lebih berdaya dan penuh semangat atas sebuah harapan yang seakan tak akan pernah kunjung padam.