Tuesday, September 27, 2011

Do Re Mi..



Yeaah.. Let sing it !!

 wa ga pat
do dododododo, re rerererere
mi mimimimimi, fa fafafafafa
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
(do) doakan ku harus pergi (re) relakan aku di sini
(mi) misalnya aku kan pulang (fa) fastikan kau tetap menunggu
(sol) soal cinta luar biasa (la) lama-lama bisa gila
(si) siapa yang tahu pasti (do) doakan aku di sini

adududuh duh aku percaya
kali ini kau pasti bisa yeah
kuku kutanya ada yang salah
jelas ini luar biasa

hal yang baik tidak mudah, tak seperti kau bicara
mereka mengerti ini terlalu jadi masalah
ketika kau mulai bisa terbiasa untuk dapat
menikmati hari-hari tanpaku di sini

(do) doakan ku harus pergi (re) relakan aku di sini
(mi) misalnya aku kan pulang (fa) fastikan kau tetap menunggu
(sol) soal cinta luar biasa (la) lama-lama bisa gila
(si) siapa yang tahu pasti (do) doakan aku di sini

Monday, September 26, 2011

Mind Barriers

The Waraku


'The thing that make me realize that I need you.. I love you, mas..'

S.A.L.T

‘Ada yang bilang, dangdut tanpa goyang bak sayur tanpa garam. Kurang enak, kurang sedap.’


Dalam sebuah kesempatan hang out  bersama dengan teman-teman, kami memilih warung bakso terdekat untuk menjadi tempat kami berbagi tawa dan canda. Seperti biasa, sesampainya di sana kami langsung menyebutkan spesifikasi pilihan bakso kami. Sembari menunggu pesanan, kami tertawa bercanda lepas. Dari cerita seputar yang baru jadian, atau yang sedang deg-degan nunggu tanggal pernikahannya. Sampai ritual cela-celaan atas kebodohan-kebodohan yang pernah kami lakukan.

Kurang lebih 10 menit kemudian, datanglah mangkok-mangkok bakso pesanan kami. Dan seperti biasanya, saya lebih suka makan bakso dengan bumbu original / polos tanpa ada campuran saos, kecap, sambal, garam, ataupun cuka. Menurut saya makanan dapat dikatakan nikmat bila dari rasa originalnya saja sudah menggoyangkan lidah. Namun berbeda pendapat dengan beberapa teman saya. Menurut mereka, meracik kembali rasa makanan yang dipesan merupakan satu seni yang memerlukan bakat tertentu. Jadi wajib untuk mereka, menambah cita rasa sebuah makanan itu dengan sambal, saos, kecap, cuka, dan ataupun garam.

Yah, memang kalau kita ngobrolin soal makanan memang setiap orang punya kekhasan masing-masing. Tapi, maaf, untuk kali ini saya bukan akan membahas soal selera makan. Karena ngobrol soal selera makan bak ngobrolin soal agama atau keyakinan, yang gak pernah ada ujungnya. Toh, semua itu tergantung oleh kesukaan masing-masing orang.

Nah, balik lagi soal beberapa bumbu penyedap makanan. Ada banyak sekali bumbu masakan dari cabe, bawang merah-putih, lada, kemiri, jahe, kunyit, pala, daun salam, dan masih banyak yang lainnya. Namun, ada satu bumbu yang selalu hadir dalam setiap masakan, yaitu garam. Masih ingat dalam ingat saya saat masih belajar masak. Mama selalu bilang,

“Kalau masak bumbu paling dasar itu garam, gula, dan bawang putih. Tapi dari semuanya, yang gak pernah boleh lupa adalah garam.’

Benar juga sih, terbayang aja sebuah masakan tanpa garam, rasanya akan hambar luar biasa. Kalau dipikir-pikir, luar biasa juga benda kecil yang satu ini. Hanya sedikit saja takarannya, menjadikan masakan luar biasa terasa nikmat. Kalau kata Mbak Inul, Sang Ratu Ngebor, ‘Dangdut tanpa goyang bagai sayur tanpa garam’.
Saya pun teringat sebuah kalimat dari seorang teman yang sekarang menjadi orang yang mengisi hati saya.

‘Iyah, sebuah hubungan cinta juga perlu garam loh.’

‘Haahh !! kok bisa.’

‘Iyah, bisa lah. Garam bahasa inggrisnya kan SALT’

‘He eh.. terus..?’

‘Iyah, hubungan cinta juga butuh SALT : Sacrifice, Attention, Loyalty, Trust. Coba deh, hilangin salah satu komponennya, dijamin hubungan jadi garing, hambar.’

Seketika itu pun, saya mengamini apa yang dikatakan olehnya. Memang sih, sebuah hubungan cinta gak pernah ada rumusan pastinya, seperti kalau kita belajar aljabar. Tapi 4 komponen dalam SALT saya rasa menjadi sebuah komponen mendasar dari sebuah hubungan.

Memang seketika itu juga, saya mencoba bertanya lebih dalam lagi tentang makna SALT ini. Jangan sampai 4 huruf ini sekedar menjadi sebuah konsep khayalan tingkat tinggi, di mana sulit menemukan realita praktisnya.
Mulailah, saya menggali lebih dalam lagi dengan beberapa pertanyaan bak seorang wartawan .

‘Oke.. Kalo kita ngobrol soal Sacrifice atau pengorbanan, kayaknya kok yang terlintas di dalam otak ini cuma pengorbanan tulus dan sejati dari Tuhan kepada manusia yah? Apakah ada pengorbanan tulus ala manusia? Tulus ikhlas tanpa pamrih?’

‘Hmmm… Iya juga yaaa.. Kalo ngobrolin Sacrifice yang kebayang cuma hubungan Tuhan dan manusia.. Let me think… ‘

‘Tuh kan… aku juga udah cari di google, tentang sacrifice ini yang muncul gambar salib dan yang berbau keagamaan lainnya.’

‘Hmmm.. menurut aku, saat kita menyerahkan diri kita untuk orang yang kita sayangi. Pengorbanan di sini sederhananya dapat berupa pengorbanan secara emosional.’

‘Maksudnya?’

‘Di mana kita mau menerima orang yang kita kasihi apa adanya. Mau memaafkannya saat dia berbuat kesalahan dan tetap menyayanginya. Mau menerima kembali mereka saat mereka melakukan penghianatan kepada kita. Pengorbanan diri yang dimaksud adalah penyangkalan kita atas emosi-emosi negative yang muncul dan mengalahkan diri atas kemarahan, kekecewaan, kesedihan yang kita rasakan. Pengorbanan tulus ikhlas yang menghidupkan.’

‘Woooowwww. Dahsyat yaa.’

Seketika itu juga, saya merasakan ini pendapatnya benar-benar nyata. Siapa sihh yang gak pernah ngerasa sakit hati saat menjalin hubungan dengan orang lain. Kalo kata pepatah, ‘Kalau gak mau sakit hati yah jangan jatuh cinta donk.’

Saya mulai terhanyut dalam diskusi benda kecil bernama SALT ini, dan lanjut ke akronim kedua, yaitu dari kata Attention. Pasti semua dari kita dengan baik dapat mengartikan kata Attention atau Perhatian dalam arti kata bahasa Indonesia nya. Sesuai dengan kata dasarnya, yaitu HATI, perhatian dapat bermakna, segala sesuatu yang dilakukan dengan hati. Membuat orang lain merasa bahwa mereka ada dalam hati kita sudah cukup mewakili kata ini.

Untuk akronim ketiga, yaitu Loyalty mungkin suatu hal yang mudah terucap, namun sulit dijalani. Siapa sih, di dunia ini orang yang ingin diduakan atau ditigakan oleh pasangannya? Tapi, siapa pula di dunia ini yang mampu dengan baik menolak ajakan untuk sekedar mencari ‘Refreshing’ dalam sebuah hubungan yang sudah tahunan dan terasa mulai berkurang gregetnya. Siapa di dunia ini yang belum pernah sama sekali punya pengalaman suka, sayang, atau bahkan sekedar mengagumi orang lain selain keluarga atau pasangannya? Tapi semua pasti setuju, kalau dalam sebuah hubungan, kita ingin mendapatkan pasangan yang setia gak cuma sekedar di mulut, tapi juga di hati.

Nilai sebuah kesetiaan tidak hanya sekedar memenuhi atas janji kita kepada orang lain. Namun lebih mendalam lagi memenuhi janji yang telah kita ucapkan terhadap diri sendiri. Pada prakteknya, jujur atau setia akan janji terhadap orang lain lebih mudah untuk dijalankan daripada memenuhi janji dan mendisiplinkan diri untuk melakukannya dengan baik. Karena pada dasarnya manusia amat mencintai dirinya sendiri sehingga banyak toleransi-toleransi yang diberikan. Padahal musuh terbesar dalam hidup ini adalah diri kita sendiri. Bila kita membiarkan diri kita kalah akan toleransi yang ada, maka kita kalah terhadap musuh tebesar kita.
Kalau kita ngobrol soal kesetiaan, pasti gak jauh dari kata ‘Saling Percaya’. Dan inilah akronim terakhir dari komponen SALT, yaitu Trust.

Untuk topik saling percaya, saya suka sekali dengan analogi berikut ini,

‘Kepercayaan itu bagai sebuah pasir pantai, semakin digenggam akan semakin lepas dari tangan kita. Namun, bila kita berikan sebuah kelonggaran maka kita akan dapat terus membawa pasir tersebut di atas tangan kita.’

Saya pikir akan lebih mengasyikan kalau pasangan kita mau percaya dan membebaskan kita untuk bertanggung jawab atas segala apa yang kita ingin lakukan. Jadi ingat, jaman ABG dulu, pernah punya teman dekat yang super posesif. Setiap jam di SMS atau bahkan di telepon, sekedar tanya saya sedang apa, di mana, sama siapa, dan serentetan pertanyaan retoris lainnya yang membuat saya ingin mengganti nomer telepon genggam saya.

Hmmm… lucu memang kalau dipikir-pikir ternyata benda kecil bernama garam a.k.a salt ini punya daya magis yang sangat tinggi yah. Dia gak cuman menjadi penyedap dalam sebuah masakan, namun juga penyedap rasa dalam hidup, spesifik dalam hidup percintaan. Kecil memang, namun bila kita dengan sebuah ketulusan menambahkan komponen S.A.L.T dalam sebuah hubungan akan menjadi sangat bermakna dan menambah warna dalam perjalanannya..

Namun, selayaknya digunakan dalam komposisi bumbu masakan. Bila terlalu berlebih akan menimbulkan masalah baru dan menjadi duri dalam daging. Bila kadarnya sedikit pun tidak akan memberikan sebuah cita rasa yang baik pada sebuah masakan. Takaran dari SALT ini tergantung situasi dan kondisi yang ada. Bila hubungan sedang terasa hambar, bolehlah kita menambahkan sedikit porsi dari SALT ini. Kecil besarnya takaran dikembalikan kepada selera dan keunikan masing-masing personal. Layaknya menyantap semangkuk bakso. Saya lebih suka menyantapnya secara Original, namun teman-teman saya yang lain lebih suka menambahkan kembali rasa asin, pedas, atau gurih ke dalam masakan yang telah tersedia.

Manakah yang benar? Sekali lagi tergantung selera, situasi, dan kondisinya..

PS : 
Dan saya.. sekarang juga sedang mencoba menambahkan komponen S.A.L.T itu dalam hubungan saya.  Bukannya akan tanpa halangan dalam prakteknya.. Yah.. doakan saja yaaa komponen S.A.L.T ini bisa membawa saya ke tahap selanjutnya yang lebih serius. *inget umur cyiiiinnnnnttt

Monday, September 19, 2011

A Perfect Escape

"Lari pagi.. Pagi berlari.. Pagi-pagi cari pelarian"

Hari ini saya memulai lagi aktivitas lari pagi saat weekend setelah vakum selama 4 bulan. Seperti biasa, ritual saya sebelum berlari stretching, memakai sepatu, jaket, serta menyumpal kuping saya dengan green i-pod, teman setia saya saat senang dan sedih. Setelah semua persiapan selesai, mulailah saya menggerakkan kaki saya untuk maju ke depan, berlari di atas aspal yang baunya masih bercampur dengan embun pagi.

Karena selama 4 bulan ini bobot tubuh saya naik kurang lebihnya 12 kilo, saya menantang diri sendiri untuk menyusuri lebih panjang jalanan kompleks dari biasanya.

Setelah kurang lebih 30 menit saya berlari, tiba-tiba perasaan saya tersentak. Saya merasa lari pagi kali ini sangat berbeda. Entah apa itu, tapi saya merasa ini sangat berbeda. Padahal, saya menggunakan pakaian olah raga yang sama, jaket yang sama pula, pemutar mp3 dengan lagu-lagu yang sama mengalun harmonis mengiringi saya berlari. Sejenak, saya mengurangi kecepatan lari saya dan berusaha merasa. Apa yang berbeda kali ini?

Di tengah kebingungan itu, sebuah lagu mengalun perlahan dari i-pod saya..

It’s the hardest thing I’ll ever have to do
To look you in the eye and tell you I don’t love you
It’s the hardest thing that ever I’ll have to lie
To show no emotion when you start to cry..
(The Hardest Thing – 98 Degrees)

But if I let you go
I will never know
What my life would be holding you close to me
Will I ever see, you smiling back at me
How will I know, If I let you go
(If I Let You Go – Westlife)

Sesaat sebuah rasa terhenyak dalam hati dan pikiran saya..
Terbayang, 4 bulan lalu saya tetap berlari di tengah hujan deras di sebuah pagi. Bak adegan film yang dibuat sedikit dramatis. Saat itu, saya berlari dengan air mata mengalir deras, sederas hujan pagi itu. Sebuah aktivitas lari pagi yang akhirnya menjadi sebuah pelarian paling sempurna yang pernah ada. Pelarian dari emosi yang saat itu bergejolak campur aduk dalam hati saya. Emosi yang membuat saya berlari, dan terus berlari seakan ujung jalan tak pernah ada. Sebuah lari pagi yang tidak hanya mengolah raga saya, namun juga jiwa saya.

Motivasi berbeda, ternyata menimbulkan rasa berbeda pula. Lari pagi saya kali ini, terasa begitu berbeda dan menyenangkan. Dalam lari pagi ini, saya masih sempat memperhatikan beberapa Bapak yang bertugas mengumpulkan sampah warga. Seorang ibu yang baru saja pulang dari pasar. Sekelompok tukang ojek yang dengan setia menunggu para penyewa yang minta diantar ke suatu tempat. Seorang ibu tua tukang sayur, yang dengan wajah bersahaja berjalan mendorong gerobaknya. Dan semua hal yang membuat saya merasa berbeda, karena lari pagi kali ini bukanlah sekedar pelarian. Lari pagi kali ini dipenuhi dengan senyum suka cita yang tak segan saya berikan kepada orang-orang disepanjang lari saya. Senyum yang juga saya berikan untuk diri saya sendiri, karena sebuah rasa bahagia dalam hati. Rasa bahagia, karena lari pagi kali ini begitu berbeda...

*Refleksi 17 September 2011



Friday, September 09, 2011

The Most Guilty Pleasure : Upil

Sekali waktu, saya sempat bertanya, ‘Apa sih gunanya upil?
 
Apakah sekedar dikorek lalu ditempelkan di bawah meja belajar atau dinding kamar? Atau bisa untuk koleksi, kita masukan ke dalam kotak korek api lalu suatu hari nanti, mungkin sudah 10 atau bahkan 30 kotak terkumpul sepanjang hidup kita. Atau benda imut yang satu ini bisa kita jadikan senjata dalam sebuah pertarungan saat tawuran antar kampung. Mungkin lawan kita akan menyerah saat kita ingin menempelkan upil kita kepada mereka, ketimbang kita mengacung-acungkan golok atau parang kepada mereka.
 
Hmmmm.. atau lebih kreatif lagi, upil bisa kita bentuk bulat seperti  kelereng, dikeringkan, lalu dijadikan semacam pernak pernik, mungkin gantungan kunci atau apapun lah yang membuat benda ini terlihat lebih indah.
 
Seketika itu juga saya bertanya, ‘Apa yah kira-kira motivasi Tuhan menciptakan upil dalam tubuh kita?’ Benda itu seringkali kita paksa keluar dari hidung kita saat merasa nafas kita mungkin sudah terasa sesak dengan keberadaan upil yang berdesakan di dalamnya. Sebuah pertanyaan lebih mendalam lagi muncul dalam benak saya, ‘Mengapa upil ada untuk dibuang?’, ‘Apakah keberadaannya senista itu sehingga malu untuk diakui?’ Malah kadang kita harus bersembunyi terlebih dahulu saat ingin mengeluarkannya agar tidak dicap sebagai orang yang tidak tahu etika.
 
Padahal, saya kadang berterima kasih kepada makhluk imut yang satu ini. Dia selalu menemani saya saat suka dan duka. Dia selalu ada dan rela saya tarik paksa saat saya sedang merasa kesepian, sendirian. Dan mulai berpikir, daripada bengong gak karuan, lebih baik saya mengupil. Dia pun selalu ada saat saya sedih. Upil rela mencairkan dirinya dan meluncur bebas bersama air mata saya yang menyasar masuk ke rongga hidung, seakan dia begitu mengerti kesedihan saya. Dan yang paling mengharukan bagi saya, makhluk imut ini selalu ada untuk mengingatkan betapa pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh ini. Karena semakin dia banyak hadir, menandakan bahwa lingkungan hidup kita ini banyak mengandung udara kotor yang terhisap melalui rongga hidung. Namun, dia rela untuk menjauhi kita saat tubuh kita berada dalam lingkungan yang memiliki udara yang bersih.
 
Upil… walaupun kau makhluk kecil yang terkadang dikucilkan dalam pergaulan bangsa. Selalu terbuang dan dicibir orang. Namun, hadirmu begitu memikat. Tak pernah kau tinggi hati walaupun memiliki sejuta manfaat. Kau tak pernah malu saat aku menyangkal merindumu.
Kau memberi insiprasi dalam hidupku. Tak pernah pamrih dalam hidup. Tak pernah menuntut walau dikucilkan dalam pergaulan. Ku doakan semoga suatu saat nanti, Tuhan kan mengangkat derajat kalian para upil menempati tempat terhormat dalam jajaran semesta raya ini.

*Renungan (aka hasil begongan) sepanjang jalur selatan menuju pantura, Mudik 2011

#Random Words 7

Hidup itu membutuhkan…
Peta, agar tidak salah menentukan arah dalam melangkah
Parasut, agar tidak terlalu sakit saat jatuh
Payung dan Jas Hujan agar tetap terlindung dari hujan ataupun badai
Komputer, untuk menyimpan semua memori indah dan menyakitkan
Dan hidup ku butuh..
Kamu.. untuk hadir temani setiap nyata dan mimpi ku
Bersama…
Di sisiku..
Kuharap dapat selalu…