Friday, May 17, 2013

Over Do(a)sis

“Tiap loe ada masalah, loe berdoa sama yang di Atas. Minta kesabaran sama Dia. Itu membantu banget.”
Beberapa hari terakhir, ngobrol sama yang di Atas menjadi sebuah pelarian yang manis untuk saya. Betapa tidak, tiap air mata ini ingin meluap langsung saya buru-buru mencari tempat yang aman dan langsung nyebut nama DIA. Ehh.. bukannya langsung menjadi tenang, air mata malah makin deras meluncur dari sudut mata saya. Bagaikan air bah akibat tanah longsor.. Bulir-bulir besar air turun sangat deras dari mata ini. (Hhmmm.. Agak berlebihan yah kata-katanya. But it’s true.)
Di antara isakan tangis, bibir ini selalu mengucap maaf sekaligus doa kepada Sang Pencipta. Yah namanya juga manusia.. Kalau sudah lagi sedih mengarah ke depresi selalu yang diingat yah Tuhan.. Karena mungkin Tuhan makhluk imajinatif (yang mungkin dibuat oleh manusia) yang menjadi satu-satunya harapan terakhir.
Saat berulang kali menyebut dan berkeluh dengan Dia, saya menjadi berpikir. Andai saya jadi Tuhan, saya bakal sebel banget lihat manusia super rewel macam saya ini. Ibarat nya junkies, saya ini udah ketagihan benda imajinatif bernama Tuhan. Pagi, Siang, Sore, Malam, Tengah Malam saya merasa gak afdol kalau belum ngobrol sama Dia. Sampai-sampai saya berpikir, jangan-jangan obrolan saya dalam doa ini sudah masuk dalam kategori Over Dosis !
Saya jadi berpikir dan berandai, apakah Dia menjadi bosan dengan saya dan doa saya yang itu-itu saja. Kadang berandai juga Dia berkata demikian :
“Loe harusnya sadar, kalau doa loe tuh mustahil. Impossible neng. Udah sana cari kegiatan lain yang lebih relevan sama hidup loe.”
Atau semacam ini...
“Ok, gak usah dikasih tau lagi. Saya sudah tau kok apa yang akan kamu ucapkan dan kamu minta. Bosen gak sih kamu minta itu terus.. Saya aja dengarnya bosen.”
Hmm... Kadang pikiran buruk saya begitu imajinatif sampai ke tahap ini. Kebayang banget kalo Tuhan bakal ngejawab doa-doa kita dengan versi imajinasi saya tadi. Yang ada kita bakal sakit hati, hilang harapan, dan sangat mungkin tingkat bunuh diri bakalan tinggi banget.
Jujur.. Saya tipikal orang yang sebenarnya malas curhat. Karena saya selalu gak enak untuk menumpahkan uneg-uneg saya ke manusia lain, yaitu teman-teman saya. Ada rasa takut untuk tidak didengarkan. Takut merepotkan orang lain untuk mau mendengarkan cerita saya dan membantu saya mencarikan solusi untuk masalah saya. Which is setiap orang punya masalahnya masing-masing. Beban pikiran dan perasaan manusia mungkin terbatas untuk bisa lagi menampung masalah orang lain. Dan yang paling penting lagi, kalau kita curhat ada cap “Masalah gitu aja loe cengeng. Cemen Man!!”
Pernah dalam suatu kesempatan makan siang, saya benar-benar tidak mampu membendung tangis saya. Dan sekeliling saya tidak ada tempat semacam toilet atau gudang untuk tempat saya bersembunyi. Dan tak sadar air mata ini mengalir deras (sembari saya mengunyah makanan saya). Seketika itu, teman-teman di sekeliling saya menatap saya bingung dan bertanya, “Kenapa loe, Des?”  Dalam isak saya menjawab, “Gue patah hati”. Dan Voilaaa teman-teman saya menatap saya bingung dan bersamaan mengucap, “Udah.. gak usah dipikirin. Makan lagi gih.” (WTF !! Pingin rasanya saat itu saya mengubur diri saya jauh ke dalam dasar bumi. Guyss, kemana sih perasaan kalian??)
Dari kenyataan itu, mulailah saya begaul dengan narkoba bernama DOA. Setiap saat saya galau langsung saya mengucap nama DIA , Sang Pencipta. Apakah saya langsung mendapat jawaban? Hmm.. boro-boro dapat jawaban. Melihat wujud Sang Dia saja saya ndak pernah (Dan jangan dulu kali yah.. Belum waktunya juga. Hehehe). Namun, aneh luar biasa.. Setelah mengecap Doa, saya seperti melayang di dalam dunia penuh harapan. Dalam 5-10 menit efek nya adalah ruang dada seakan terisi kembali dengan harap. Harap, bahwa saya tetap dapat melanjutkan hidup ini. Harap, bahwa Sang Pencipta mendekap saya, menyemangati saya, dan tak akan meninggalkan saya (Gilee.. bahasa nya cinggg..)
Apakah harapan itu akan menjadi jalan keluar saya? Entah lah.. Yang saya tahu sekarang, dengan harapan-harapan itu menjadikan saya seperti sekarang ini. Tetap berani menjalani hidup , walau rasanya gak enak sama sekali. Entah besok apa yang terjadi, biarlah tetap menjadi misteri Sang Ilahi.
Yang saya masih syukuri sekarang adalah.. saya masih boleh diberikan kesempatan untuk berharap dan memupuk harapan saya. Harapan untuk diberikan yang terbaik dalam hidup saya seturut dengan segala rencanaNya..

Ku Ingin (Kembali) Mengasihi Mu

Saat itu, saat aku berlutut di hadapanMu
Saat aku menghadap kehadirat Mu
Kembali kuingat kejadian itu

Aku sadar Tuhan, saat itu aku telah melukai Engkau
Saat mengenang pengorbanan HidupMu
Ku malah tak dapat menahan rasa emosi itu
Ku malah biarkan Sang Gelap kuasai hatiku
Padahal saat itu aku berada dalam sucinya rumah kudus Mu

Akhhh..
Andaikan saja Tuhan..
Andai ku dapat kembali ke masa itu
Sungguh ku kan berusaha tak akan lukai hati Mu

Aku sungguh kalah dari godaan si Jahat
Kini hanya rasa sesal dan malu yang tersisa
Saat kulihat wajah suciMu tergantung di salib nan Mulia
Ku sungguh malu dan hanya bisa mengalirkan  air mata
Berjuta maaf kupanjatkan selalu untuk Mu
Mungkin tak akan pernah cukup menghapus dosaku
Tapi kuyakin, Kau Maha Pengampun
Biarlah rasa sesal itu selalu menjadi pelajaran berharga dalam hidup
Yang selalu ingatkanku untuk mengasihiMu
Selalu..

Wednesday, May 15, 2013

Dari Diam Kepada Diam Untuk Diam

Saat ini aku hanya bisa diam
Walau bukan begitu maksudku
Tapi biarlah untuk sejenak aku diam

Biarlah begini dulu.. Diam..
Diam-diam aku merasamu
Diam-diam aku merindumu
Diam-diam ku kirimkan doa untuk mu
Diam-diam aku tetap menyayangimu
Diam-diam ku taruh harapan ini padamu

Dalam diam walau menyakitkan kurasa indah
Karena ku dapat rasakan benar tulus hati ini
Tulus yang kuharap dapat kau rasakan dalam diam mu

Dalam diam kucoba sampaikan
Harapan kepada Sang Maha Diam
Yang walau kusampaikan lewat diam, ku yakin Dia kan mendengar

Biarlah Dia yang kan menyentuh dan menyampaikan rasa ini kepadamu dalam semua diam mu..

Sunday, May 12, 2013

Beri Waktu kepada Sang Waktu

Mba sudah berkeluarga atau belum?
Belum pak. Masih nanggung diri sendiri.
Memang usianya berapa?
27 tahun.
Oh yah masih muda yah. Untuk ukuran model wanita karier seperti mba nya 27 tahun masih muda banget. Masih panjang waktunya.
Kelihatannya saya tipikal wanita karier gitu yah pak? Hehehehe.. udah mau kepala 3 nih pak. Kayaknya malah sudah telat berkeluarga. Haha..

Ini sepenggal dialog antara saya dan seorang bapak yang sebenarnya gak terlalu saya kenal. (Malahan, baru kenal pagi itu. Hahahahay).
Pagi itu saat sedang sarapan sendiri di kantin, seorang Bapak menghampiri saya dan duduk satu meja dengan saya. Seperti biasa kalau ketemu orang yang gak dikenal , obrolan pasti dimulai dengan beberapa pertanyaan standar. Apa sih yang ditanya kalau bukan tinggal di mana? Di kantor ini posisi bagian apa? Sudah berkeluarga atau masih single? Dan sederet pertanyaan sesuai SOP obrolan orang yang baru kenal.
Pagi itu, seperti biasanya saya jarang berbicara kalau gak ditanya. Jadilah, pagi ini saya menjadi pendengar yang baik untuk cerita sang Bapak yang sarapan pagi bareng saya hari itu. Mulailah dia bercerita tentang keluarga dan pekerjaannya. Mulai tanya-tanya kok saya masih single. Yah namanya juga baru kenal, pasti jawaban saya seadanya aja. Saya bilang aja, “Belum waktunya kali pak. Udah mau tenggat waktu yah padahal kalau buat perempuan? Hahahaha.. Mungkin belum ada jodoh yang pas. Mungkin juga belum waktunya pak. Belum dikasih kepercayaan sama yang di Atas.” Dan serangkaian jawaban standar lainnya kalau ditanya “Kenapa belum menikah??”
Oh iyah, Bicara mengenai waktu, saya jadi inget salah satu analogi yang ditulis oleh Oka @landakgaul dalam bukunya “Analogi Cinta Sendiri”. Kebetulan buku ini direkomendasi sama seorang teman yang pakarnya dalam dunia per-GALAU-an anak muda. (Dan saya juga rekomendasi buku ini untuk dibaca).
Dalam buku ini, tertulis
“Akhirnya gue paham apa yang dimaksud Einstein tentang relativitas waktu. Ketika gue lagi bareng Regina dan gue merasa senang banget waktu akan terasa sangat cepat. Tapi, pas gue berusaha menghindari Regina dan kebetulan harus bareng dia, rasanya waktu nggak berjalan” – Analogi Cinta Sendiri, hal 69-70.
Dari sini, langsung lah saya ber-flash back ke waktu hidup saya semenit lalu, sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun yang lalu.. Bener banget, yang namanya waktu emang relatif banget. Kalau kita lagi happy dan lagi bersama orang yang bikin kita  happy rasanya waktu tuh berjalan cepppeeett bangeett.. Tapi kalau kita lagi kesel, kecewa, sedih, ngarep ketemu orang yang kita sayang tapi gak bisa ketemu, itu rasanya semenit aja berasa 80 tahun, laaammmaaa buangeeettt..  Sampai kadang kita pingin banget punya remote waktu, skip ke masa-masa hanya saat kita bahagia saja. Tapi apa bener yah, kalau kita punya remote waktu itu dan terus kita bahagia terus kita juga pasti bakal happy.
Gimana kita bisa tahu yang namanya rasa bahagia kalau gak pernah ngerasa sedih, kecewa, terluka?
Jadi ingat satu kesempatan dengan dia (yang dalam blog ini bernama samaran Toni). Dalam sebuah pengakuan blak-blakan saya mengenai cinta, Toni pernah bertanya,
“Seumur hidup, kamu gak pernah ngerasain ditolak yah cintanya sama orang lain?”
Dengan jumawa saya menjawab,
“Hmmm.. seumur hidup, tema hidup aku tuh kayak lagu Dewa 19, Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku.. Jadi yah sebisa mungkin jangan sampai ditolak deh..hehehe”

Saat itu, saya hanya merasa Toni bertanya itu sekenanya dan gak ada arahan apa pun. Dan ternyata beberapa hari setelah itu saya dihadapkan pada kenyataan bahwa dia bilang udah gak mau menjalin hubungan sama saya dan dia juga gak tahu perasaan sayang dan cinta dia pergi kemana. Kasarnya cinta saya ditolak sama Toni. Dan respon perempuan kalo cintanya ditolak yah meratap, ngemis-ngemis cinta sama dia.. (Hahaha.. !! ini tho rasanya ditolak cintanya ! Oke, checklist of one more experience)

Dan mulailah saya masuk dalam kenyataan relativitas waktu yang paling menyebalkan, harus nunggu gak tahu sampai kapan dan dengan tingkat probabilitas yang entah persentase nya saya sendiri gak tahu. Masuk dalam periode di mana waktu begitu lama berjalan dan saya terjebak dalam kebingungan “Gue cinta dia, tapi gue gak bisa bilang dan mengekspresikan hal itu sama dia. Gue sayang sama dia, but can do nothing to show that I'm care. Feel like hell”.
Kalau Maliq & D’Essentials punya lagu “Beri Cinta Waktu” , saya rasa lagu itu yang paling pas buat keadaan saya sekarang. Berikut ini liriknya :
Dengarlah bisikkku Saat ku merindumu
Tetes air mata Tak dapat sembunyikan rasa
Cintaku untuk dirimu

Bilakah kau tau Ketika kau jauh
Menangis hatiku Saat kumemanggil namamu
Tiada lagi hadir untukku..oh

Reff:
Bila ku katakan kini Arti hadirmu disini
Mungkinkah kau kan kembali
Bersama denganku

Beri cinta waktu Untuk memahami Untuk meyakini
Bila esok yang kan terjadi Semua indah yang terjalani

Dengar bisikku Ku merindumu
Kini kau jauh menangis hatiku
Masih adakah ruang hatimu
Untukku kembali..oh
Yup.. Sekarang saya hanya bisa memberikan waktu pada cinta untuk menemukan jalannya kembali.
Namun, sesuai dengan teori relativitas waktu tadi yah terima saja bila sang waktu tak akan pernah memberikan tahu rencana kapan dia akan memberikan jawabannya. Dan kembali saya ingat statement si Bapak teman makan pagi hari itu.
Hidup ini gak ada tenggat waktu nya.. Begitu pun dengan berkeluarga.. Kalau sudah waktunya, pasti semua akan berproses. Yang penting kamu jangan lupa tetap punya harapan. Karena cuma harapan yang bisa buat kamu tetap hidup..

Monday, May 06, 2013

More than Worth It

“Lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati”
Ungkapan ini, mungkin sangat sering kita dengar dan seringkali kita jadikan guyonan dengan teman-teman.
Anyway.. ngobrol tentang sakit gigi, sudah hampir 3 tahun saya menggunakan kawat gigi.
Which is, untuk semua orang yang pernah pakai kawat gigi pasti tahu persis deh rasa penyiksaaannya. Hehehe..
Beberapa minggu lalu, demi merapikan gigi bagian atas, atas persetujuan saya dokter terpaksa mencabut 2 gigi saya supaya masih ada ruang gerak untuk gigi yang lainnya sehingga mudah untuk dirapikan.
Setelah hampir 1 bulan setelah pencabutan gigi, mulailah penyiksaan selanjutnya dimulai. Untuk merapikannya, gigi bagian atas dipasang semacam per pendorong agar gigi bisa bergerak mundur ke belakang. Belum puas dengan memasang per, dengan sadis si dokter memasang semacam karet penarik agar gerak mundur si gigi lebih cepat lagi.  And this pain feel like hell.
Ahhh, ada-ada saja ide si dokter kali ini, pikirku. Ditambah lagi dengan narasi-narasi pengantar dari dokter,
“Nanti setelah dipasang per dan karet penariknya, besok siap-siap gak bisa makan lagi yah. Rasanya pasti luar biasa sakit. Yah.. ini gigi kamu bandel. Pakai 1 treatment pasti lama geraknya. Jadi kita dobel yah. Gigi akan didorong dari depan plus ditarik dari belakang. Sakit nya biar sekalian. Saya bilang ini ke kamu dari awal, biar kamu gak cerewet sakit gigi sama saya.”
Dan sepulang dari dokter, mulailah kekhawatiran saya. Betapa tidak, dalam 1 bulan terakhir saja bobot badan saya sudah berkurang cukup signifikan. Apa alasannya? Sudahlah tidak perlu diceritakan lagi, cukup baca blog-blog saya sebelumnya.
Pagi ini.. gigi bagian atas saya sudah mulai berkontraksi..
Hmm.. well it’s really super duper painfull.
Selain harus berjuang menahan derita setelah gigi dicabut, sekarang derita ini bertambah dengan gaya tarik-dorong si gigi.
Seketika ada rasa penyesalan dalam hati. Kenapa kemarin milih setuju untuk cabut gigi yah.. (Hahahaha.. as ussual yah penyesalan selalu datang terlambat kan. Kalo datang duluan namanya PENDAFTARAN kan yahhhh.. bahahaha).
Tapi ajaib sekali lohhh.. Dari kejadian ini, saya seakan mendapat wangsit / insight  yang cukup menyemangati (at least buat diri saya sendiri).
Well.. treatment gigi ini emang menyakitkan banget. Tapi mungkin dengan peristiwa dicabutnya 2 gigi saya serta aksi tarik-dorong ini menyadarkan saya. Hidup memang mungkin gak semulus yang dibayangkan. Banyak aksi dan pengambilan keputusan yang kadang menyakitkan. Seperti gigi yang mau dirapikan, harus dicabut untuk memberikan ruang gerak agar lebih leluasa untuk dilakukan banyak aksi perbaikan. Dan tentunya setiap aksi perbaikan gak  semudah yang kita perkirakan.
Sama seperti hidup kita..
Saat semua seakan terlalu berhimpitan dan menumpuk, mungkin kita perlu mengambil keputusan ektrim untuk memberikan ruang gerak pada sebuah atau beberapa buah perubahan besar dalam hidup kita. Sakit? Pastinya. Menyebalkan? Sudah tentu.
Namun, bila kita mengingat kembali tujuannya yaitu untuk suatu hal yang lebih baik,  I think that could be more than worth it.

Wednesday, May 01, 2013

Abu - Abu

Kawan.. Pernahkah engkau merasa tersesat dalam hidupmu sendiri?

Saat ini aku merasa hidup dalam dunia hitam-putih-abuabu.
Di mana tak ada lagi warna merangkai hari-hariku.

Setiap kali kulihat di depanku orang berjalan, berbicara, duduk, diam, berlari, tertawa..
Namun ku seperti tak paham apa yang mereka lakukan.
Entah aku yang tak mengerti.. Atau aku yang tak mampu merasa lagi?

Detik demi detik menjalin menit merangkai jam, hari, minggu, dan bulan..
Setiap hari aku membuka mata dan beraktivitas penuh namun tiada makna tercipta dalam rasa.
Entah ada di dunia bagian mana aku tersesat?
Rasa nya aku ingin kembali pulang, walau saat ini ku tak tau arahnya.

Kini aku terdiam dan terjebak dalam lingkaran penuh kebingungan.
Hanya menatap kosong dunia abu-abu ini.
Ku harap kan merah, kuning, hijau, biru kembali mewarnai hari ini.

Semoga Sang Pelukis hidup ini kan mendengar harapanku..

Kangen Dia

Tuhan..
Aku kangen dia..
Ada banyak cerita di hidupku yang ingin aku bagikan dan ceritakan kepada dia
Tapi, aku takut Tuhan..
Aku takut mendapat respon pahit itu lagi..
Padahal rasanya jiwa ini kembali hidup saat aku bisa bercerita kembali kepada dia...
Aku kangen dia, Tuhan..
Kangen senyum yang menyemangati itu..
Kangen ide-ide dan pemikiran-pemikiran gila itu..
Kangen omelan dan nasihat-nasihat itu..
Kangen rasa itu..
Rasa membutuhkan dia, selalu...