Sunday, May 12, 2013

Beri Waktu kepada Sang Waktu

Mba sudah berkeluarga atau belum?
Belum pak. Masih nanggung diri sendiri.
Memang usianya berapa?
27 tahun.
Oh yah masih muda yah. Untuk ukuran model wanita karier seperti mba nya 27 tahun masih muda banget. Masih panjang waktunya.
Kelihatannya saya tipikal wanita karier gitu yah pak? Hehehehe.. udah mau kepala 3 nih pak. Kayaknya malah sudah telat berkeluarga. Haha..

Ini sepenggal dialog antara saya dan seorang bapak yang sebenarnya gak terlalu saya kenal. (Malahan, baru kenal pagi itu. Hahahahay).
Pagi itu saat sedang sarapan sendiri di kantin, seorang Bapak menghampiri saya dan duduk satu meja dengan saya. Seperti biasa kalau ketemu orang yang gak dikenal , obrolan pasti dimulai dengan beberapa pertanyaan standar. Apa sih yang ditanya kalau bukan tinggal di mana? Di kantor ini posisi bagian apa? Sudah berkeluarga atau masih single? Dan sederet pertanyaan sesuai SOP obrolan orang yang baru kenal.
Pagi itu, seperti biasanya saya jarang berbicara kalau gak ditanya. Jadilah, pagi ini saya menjadi pendengar yang baik untuk cerita sang Bapak yang sarapan pagi bareng saya hari itu. Mulailah dia bercerita tentang keluarga dan pekerjaannya. Mulai tanya-tanya kok saya masih single. Yah namanya juga baru kenal, pasti jawaban saya seadanya aja. Saya bilang aja, “Belum waktunya kali pak. Udah mau tenggat waktu yah padahal kalau buat perempuan? Hahahaha.. Mungkin belum ada jodoh yang pas. Mungkin juga belum waktunya pak. Belum dikasih kepercayaan sama yang di Atas.” Dan serangkaian jawaban standar lainnya kalau ditanya “Kenapa belum menikah??”
Oh iyah, Bicara mengenai waktu, saya jadi inget salah satu analogi yang ditulis oleh Oka @landakgaul dalam bukunya “Analogi Cinta Sendiri”. Kebetulan buku ini direkomendasi sama seorang teman yang pakarnya dalam dunia per-GALAU-an anak muda. (Dan saya juga rekomendasi buku ini untuk dibaca).
Dalam buku ini, tertulis
“Akhirnya gue paham apa yang dimaksud Einstein tentang relativitas waktu. Ketika gue lagi bareng Regina dan gue merasa senang banget waktu akan terasa sangat cepat. Tapi, pas gue berusaha menghindari Regina dan kebetulan harus bareng dia, rasanya waktu nggak berjalan” – Analogi Cinta Sendiri, hal 69-70.
Dari sini, langsung lah saya ber-flash back ke waktu hidup saya semenit lalu, sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun yang lalu.. Bener banget, yang namanya waktu emang relatif banget. Kalau kita lagi happy dan lagi bersama orang yang bikin kita  happy rasanya waktu tuh berjalan cepppeeett bangeett.. Tapi kalau kita lagi kesel, kecewa, sedih, ngarep ketemu orang yang kita sayang tapi gak bisa ketemu, itu rasanya semenit aja berasa 80 tahun, laaammmaaa buangeeettt..  Sampai kadang kita pingin banget punya remote waktu, skip ke masa-masa hanya saat kita bahagia saja. Tapi apa bener yah, kalau kita punya remote waktu itu dan terus kita bahagia terus kita juga pasti bakal happy.
Gimana kita bisa tahu yang namanya rasa bahagia kalau gak pernah ngerasa sedih, kecewa, terluka?
Jadi ingat satu kesempatan dengan dia (yang dalam blog ini bernama samaran Toni). Dalam sebuah pengakuan blak-blakan saya mengenai cinta, Toni pernah bertanya,
“Seumur hidup, kamu gak pernah ngerasain ditolak yah cintanya sama orang lain?”
Dengan jumawa saya menjawab,
“Hmmm.. seumur hidup, tema hidup aku tuh kayak lagu Dewa 19, Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku.. Jadi yah sebisa mungkin jangan sampai ditolak deh..hehehe”

Saat itu, saya hanya merasa Toni bertanya itu sekenanya dan gak ada arahan apa pun. Dan ternyata beberapa hari setelah itu saya dihadapkan pada kenyataan bahwa dia bilang udah gak mau menjalin hubungan sama saya dan dia juga gak tahu perasaan sayang dan cinta dia pergi kemana. Kasarnya cinta saya ditolak sama Toni. Dan respon perempuan kalo cintanya ditolak yah meratap, ngemis-ngemis cinta sama dia.. (Hahaha.. !! ini tho rasanya ditolak cintanya ! Oke, checklist of one more experience)

Dan mulailah saya masuk dalam kenyataan relativitas waktu yang paling menyebalkan, harus nunggu gak tahu sampai kapan dan dengan tingkat probabilitas yang entah persentase nya saya sendiri gak tahu. Masuk dalam periode di mana waktu begitu lama berjalan dan saya terjebak dalam kebingungan “Gue cinta dia, tapi gue gak bisa bilang dan mengekspresikan hal itu sama dia. Gue sayang sama dia, but can do nothing to show that I'm care. Feel like hell”.
Kalau Maliq & D’Essentials punya lagu “Beri Cinta Waktu” , saya rasa lagu itu yang paling pas buat keadaan saya sekarang. Berikut ini liriknya :
Dengarlah bisikkku Saat ku merindumu
Tetes air mata Tak dapat sembunyikan rasa
Cintaku untuk dirimu

Bilakah kau tau Ketika kau jauh
Menangis hatiku Saat kumemanggil namamu
Tiada lagi hadir untukku..oh

Reff:
Bila ku katakan kini Arti hadirmu disini
Mungkinkah kau kan kembali
Bersama denganku

Beri cinta waktu Untuk memahami Untuk meyakini
Bila esok yang kan terjadi Semua indah yang terjalani

Dengar bisikku Ku merindumu
Kini kau jauh menangis hatiku
Masih adakah ruang hatimu
Untukku kembali..oh
Yup.. Sekarang saya hanya bisa memberikan waktu pada cinta untuk menemukan jalannya kembali.
Namun, sesuai dengan teori relativitas waktu tadi yah terima saja bila sang waktu tak akan pernah memberikan tahu rencana kapan dia akan memberikan jawabannya. Dan kembali saya ingat statement si Bapak teman makan pagi hari itu.
Hidup ini gak ada tenggat waktu nya.. Begitu pun dengan berkeluarga.. Kalau sudah waktunya, pasti semua akan berproses. Yang penting kamu jangan lupa tetap punya harapan. Karena cuma harapan yang bisa buat kamu tetap hidup..

No comments: