Monday, September 19, 2011

A Perfect Escape

"Lari pagi.. Pagi berlari.. Pagi-pagi cari pelarian"

Hari ini saya memulai lagi aktivitas lari pagi saat weekend setelah vakum selama 4 bulan. Seperti biasa, ritual saya sebelum berlari stretching, memakai sepatu, jaket, serta menyumpal kuping saya dengan green i-pod, teman setia saya saat senang dan sedih. Setelah semua persiapan selesai, mulailah saya menggerakkan kaki saya untuk maju ke depan, berlari di atas aspal yang baunya masih bercampur dengan embun pagi.

Karena selama 4 bulan ini bobot tubuh saya naik kurang lebihnya 12 kilo, saya menantang diri sendiri untuk menyusuri lebih panjang jalanan kompleks dari biasanya.

Setelah kurang lebih 30 menit saya berlari, tiba-tiba perasaan saya tersentak. Saya merasa lari pagi kali ini sangat berbeda. Entah apa itu, tapi saya merasa ini sangat berbeda. Padahal, saya menggunakan pakaian olah raga yang sama, jaket yang sama pula, pemutar mp3 dengan lagu-lagu yang sama mengalun harmonis mengiringi saya berlari. Sejenak, saya mengurangi kecepatan lari saya dan berusaha merasa. Apa yang berbeda kali ini?

Di tengah kebingungan itu, sebuah lagu mengalun perlahan dari i-pod saya..

It’s the hardest thing I’ll ever have to do
To look you in the eye and tell you I don’t love you
It’s the hardest thing that ever I’ll have to lie
To show no emotion when you start to cry..
(The Hardest Thing – 98 Degrees)

But if I let you go
I will never know
What my life would be holding you close to me
Will I ever see, you smiling back at me
How will I know, If I let you go
(If I Let You Go – Westlife)

Sesaat sebuah rasa terhenyak dalam hati dan pikiran saya..
Terbayang, 4 bulan lalu saya tetap berlari di tengah hujan deras di sebuah pagi. Bak adegan film yang dibuat sedikit dramatis. Saat itu, saya berlari dengan air mata mengalir deras, sederas hujan pagi itu. Sebuah aktivitas lari pagi yang akhirnya menjadi sebuah pelarian paling sempurna yang pernah ada. Pelarian dari emosi yang saat itu bergejolak campur aduk dalam hati saya. Emosi yang membuat saya berlari, dan terus berlari seakan ujung jalan tak pernah ada. Sebuah lari pagi yang tidak hanya mengolah raga saya, namun juga jiwa saya.

Motivasi berbeda, ternyata menimbulkan rasa berbeda pula. Lari pagi saya kali ini, terasa begitu berbeda dan menyenangkan. Dalam lari pagi ini, saya masih sempat memperhatikan beberapa Bapak yang bertugas mengumpulkan sampah warga. Seorang ibu yang baru saja pulang dari pasar. Sekelompok tukang ojek yang dengan setia menunggu para penyewa yang minta diantar ke suatu tempat. Seorang ibu tua tukang sayur, yang dengan wajah bersahaja berjalan mendorong gerobaknya. Dan semua hal yang membuat saya merasa berbeda, karena lari pagi kali ini bukanlah sekedar pelarian. Lari pagi kali ini dipenuhi dengan senyum suka cita yang tak segan saya berikan kepada orang-orang disepanjang lari saya. Senyum yang juga saya berikan untuk diri saya sendiri, karena sebuah rasa bahagia dalam hati. Rasa bahagia, karena lari pagi kali ini begitu berbeda...

*Refleksi 17 September 2011



No comments: