Monday, July 09, 2012

Respect from Rejection


“Live without Pretending,
Love without Defending
Listen without Defending
Speak without Offending”


Suatu hari saya terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan seorang teman. Dia menceritakan pengalaman hidupnya, yang menurut pandangan saya tidaklah mudah. Kegagalan, penolakan seringkali mewarnai hidupnya. Bagaimana tidak, dari pengalaman beberapa kali tinggal kelas sampai beberapa kali ditolak macam-macam perempuan kerap hadir di hidupnya.

Pernah saya bertanya kepada si teman ini,’Apa sih rasanya gagal dan ditolak berkali-kali?’

Dia hanya menjawab, ‘Yah enjoy ajah. Gue mah sedihnya bentar. Paling besoknya udah lupa dan happy lagih.’

Jujur saja, saya bukan termasuk dalam golongan orang yang kebal akan kegagalan. Dari kecil ibu saya selalu memacu anak-anaknya untuk meraih yang terbaik dalam setiap hidup kami. Dulu jaman sekolah, minimal nilai yang saya dapatkan harus ada di angka 9. Bila di bawah itu, siap-siap saja mendengarkan serangkaian ocehan berdurasi 3 sks. Kuliah pun saya usahakan selesai dalam 3,5 tahun. Tak hanya itu, saya belajar sungguh-sungguh untuk dapat menduduki kursi barisan depan saat wisuda dengan undangan khusus untuk orang tua. Saat bekerja pun setiap proses interview selalu saya lewati dengan baik. Saya pikir dengan melalui semua itu dengan baik, hidup saya akan berjalan mulus. Prestasi akademis bagus, punya jiwa pemberani dan pantang menyerah ternyata belum cukup bagi saya untuk menjalani hari-hari ini.

Sedikit sekali pelajaran hidup saya tentang kegagalan. Dan jujur, agak menyesal juga sih kenapa dulu gak pernah belajar hal itu dengan baik. Dulu saya sekeras tenaga berusaha agar tidak gagal. Berusaha mengontrol semua hal dalam hidup saya agar apa yang saya lakukan dapat diterima dengan baik oleh orang lain. Dan sekarang saya hanya bisa menatap bingung hidup saya saat kegagalan dan penolakan itu datang kepada saya.

Mungkin kalau gagal karena gak meraih apa yang dicita-citakan menurut saya pribadi relatif mudah untuk dilalui. Kalau gagal langsung catat dan ingat untuk kesempatan lain lebih baik lagi. Atau dapat dirumuskan, gagal itu terjadi akibat setting target terlalu tinggi atau kita kita sebenarnya tidak mampu meraih apa yang kita ingikan. Bila setting target terlalu tinggi dan kita belum mampu meraihnya, usahakan lebih keras sampai target itu tercapai. Namun, kacaunya saat ini saya merasa lelah terlalu banyak berlari. Lelah terlalu banyak menggapai. Yah, saya lelah.

Lain halnya dengan makhluk bernama penolakan. Sepertinya makhluk yang satu ini terasa lebih sadis dibanding kegagalan. Karena hal ini tidak hanya menyangkut diri kita saja, tapi juga orang lain.

Beberapa bulan terakhir akibat sebuah adaptasi akan sebuah perubahan ada beberapa situasi yang membuat saya merasa gak nyaman secara mental. Walaupun dari luar kelihatan saya baik-baik saja, tapi dalam hati rasanya pahit juga. Dalam proses adaptasi ini, suatu ketika saya tidak diikutsertakan dalam sebuah acara yang biasanya saya selalu in charged di dalamnya. Saat tahu saya tidak diinformasikan dan juga tidak diikutsertakan, seketika itu saya merasa ditolak mentah-mentah. Marah, kecewa, sedih bercampur aduk jadi satu. Sebenarnya bisa saja saya marah kepada mereka yang berbuat demikian. Tapi saya memilih untuk menyimpannya dalam hati saja. Mencoba memahami walau sendiri.

Lain lagi pengalaman dalam sebuah adaptasi pergaulan, ternyata survive di kalangan dewasa lebih sulit daripada pergaulan di kalangan remaja. Kotak-kotak pemisah antar golongan ternyata lebih terlihat wujudnya dibanding saat remaja dulu. Dalam pergaulan di kalangan dewasa, ternyata orang lebih senang ngomong ’di belakang’ ketimbang jujur apa adanya. Di depan kita baik belum tentu sama di belakangnya. Awalnya memang ada rasa gak nyaman di hati saya. Tapi sekali lagi saya memilih untuk menyimpannya dalam hati saja, dan mecoba memahaminya walau sendiri.

Dulu saat kecil sampai remaja, saya selalu berusaha membuat semua orang menerima dan menyukai saya. Saya berusaha keras atau mungkin sangat keras untuk mendapatkan penerimaan dari orang lain. Tidak sampai di sana saja, saya senang menjadi orang yang lebih dipercaya dalam sebuah kelompok. Dan saya berusaha keras atau bahkan sangat keras untuk itu. Namun, rasanya sekarang ini saya pun lelah untuk berusaha. Yah, saya lelah bahkan sangat lelah...

Rasa akibat penolakan memang sakit dan memberikan bekas rasa kecewa dalam hati. Namun, di titik itu saya mencoba merenungkan kembali rasa itu dan ternyata ada banyak hal yang bisa kita pelajari. Mungkin, masih banyak hal yang perlu kita koreksi dari sikap kita. Atau memang kita harus menyadari, kalau kita gak bisa membuat semua orang itu menerima kita dan selalu sependapat dengan kita. Karena harus disadari, walaupun makhluk sosial, manusia itu unik dengan kombinasi karakteristik dan logika masing-masing. Jadi sah-sah saja bila kadang kita merasa gak mendapatkan ’Klik’ dengan tipe orang tertentu yang karakter dan logikanya berbeda dengan kita. Dari sana saya baru tersadar, hidup ini memang penuh perbedaan. Yang penting gimana kita mau menyadari perbedaan itu dan akhirnya mau membangun rasa hormat terhadap orang lain. Bahasa kerennya Respect.

Membangun hubungan personal dengan orang lain memang penting. Terutama dengan orang-orang yang dekat dengan kita. Tapi gak penting juga untuk membangun hubungan personal terlalu dalam dan memaksa semua orang untuk masuk dalam kehidupan pribadi kita. Membuat semua orang menyukai kita sama mustahilnya seperti kita ingin menjilat mata sendiri. Yang kita perlu hanya Respect  dengan semua orang yang kita kenal gak peduli apa pangkat jabatannya. Karena dari Respect yang kita taburkan untuk orang lain, suatu saat nanti kita pun akan menuai Respect itu sebagai buah dari perbuatan kita.

So, enjoying yourself and let’s make this world more beautiful..

No comments: