“Live without Pretending,
Love without Defending
Listen without Defending
Speak without Offending”
Suatu hari saya terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan seorang
teman. Dia menceritakan pengalaman hidupnya, yang menurut pandangan saya
tidaklah mudah. Kegagalan, penolakan seringkali mewarnai hidupnya. Bagaimana
tidak, dari pengalaman beberapa kali tinggal kelas sampai beberapa kali ditolak
macam-macam perempuan kerap hadir di hidupnya.
Pernah saya
bertanya kepada si teman ini,’Apa sih rasanya gagal dan ditolak berkali-kali?’
Dia hanya menjawab, ‘Yah enjoy ajah. Gue mah sedihnya
bentar. Paling besoknya udah lupa dan happy
lagih.’
Jujur saja, saya bukan termasuk dalam golongan orang yang
kebal akan kegagalan. Dari kecil ibu saya selalu memacu anak-anaknya untuk
meraih yang terbaik dalam setiap hidup kami. Dulu jaman sekolah, minimal nilai yang saya dapatkan harus ada di angka 9. Bila
di bawah itu, siap-siap saja mendengarkan serangkaian ocehan berdurasi 3 sks.
Kuliah pun saya usahakan selesai dalam 3,5 tahun. Tak hanya itu, saya belajar
sungguh-sungguh untuk dapat menduduki kursi barisan depan saat wisuda dengan
undangan khusus untuk orang tua. Saat bekerja pun setiap proses interview
selalu saya lewati dengan baik. Saya
pikir dengan melalui semua itu dengan baik, hidup saya akan berjalan mulus. Prestasi
akademis bagus, punya jiwa pemberani dan pantang menyerah ternyata belum cukup
bagi saya untuk menjalani hari-hari ini.
Sedikit sekali pelajaran hidup saya tentang kegagalan. Dan
jujur, agak menyesal juga sih kenapa dulu gak pernah belajar hal itu dengan
baik. Dulu saya sekeras tenaga berusaha agar tidak gagal. Berusaha mengontrol
semua hal dalam hidup saya agar apa yang saya lakukan dapat diterima dengan
baik oleh orang lain. Dan sekarang saya hanya bisa menatap bingung hidup saya
saat kegagalan dan penolakan itu datang kepada saya.
Mungkin kalau gagal karena gak meraih apa yang
dicita-citakan menurut saya pribadi relatif mudah untuk dilalui. Kalau gagal
langsung catat dan ingat untuk kesempatan lain lebih baik lagi. Atau dapat
dirumuskan, gagal itu terjadi akibat setting target terlalu tinggi atau kita
kita sebenarnya tidak mampu meraih apa yang kita ingikan. Bila setting target
terlalu tinggi dan kita belum mampu meraihnya, usahakan lebih keras sampai
target itu tercapai. Namun, kacaunya
saat ini saya merasa lelah terlalu banyak berlari. Lelah terlalu banyak
menggapai. Yah, saya lelah.
Lain halnya
dengan makhluk bernama penolakan. Sepertinya makhluk yang satu ini terasa lebih
sadis dibanding kegagalan. Karena hal ini tidak hanya menyangkut diri kita
saja, tapi juga orang lain.
Beberapa bulan
terakhir akibat sebuah adaptasi akan sebuah perubahan ada beberapa situasi yang
membuat saya merasa gak nyaman secara mental. Walaupun dari luar kelihatan saya
baik-baik saja, tapi dalam hati rasanya pahit juga. Dalam proses adaptasi ini,
suatu ketika saya tidak diikutsertakan dalam sebuah acara yang biasanya saya
selalu in charged di dalamnya. Saat
tahu saya tidak diinformasikan dan juga tidak diikutsertakan, seketika itu saya
merasa ditolak mentah-mentah. Marah, kecewa, sedih bercampur aduk jadi satu.
Sebenarnya bisa saja saya marah kepada mereka yang berbuat demikian. Tapi saya
memilih untuk menyimpannya dalam hati saja. Mencoba memahami walau sendiri.
Lain lagi
pengalaman dalam sebuah adaptasi pergaulan, ternyata survive di kalangan dewasa lebih sulit daripada pergaulan di
kalangan remaja. Kotak-kotak pemisah antar golongan ternyata lebih terlihat
wujudnya dibanding saat remaja dulu. Dalam pergaulan di kalangan dewasa,
ternyata orang lebih senang ngomong ’di belakang’ ketimbang jujur apa adanya. Di
depan kita baik belum tentu sama di belakangnya. Awalnya memang ada rasa gak
nyaman di hati saya. Tapi sekali lagi saya memilih untuk menyimpannya dalam
hati saja, dan mecoba memahaminya walau sendiri.
Dulu saat kecil
sampai remaja, saya selalu berusaha membuat semua orang menerima dan menyukai
saya. Saya berusaha keras atau mungkin sangat keras untuk mendapatkan
penerimaan dari orang lain. Tidak
sampai di sana saja, saya senang menjadi orang yang lebih dipercaya dalam
sebuah kelompok. Dan saya berusaha keras atau bahkan sangat keras untuk itu.
Namun, rasanya sekarang ini saya pun lelah untuk berusaha. Yah, saya lelah
bahkan sangat lelah...
Rasa akibat penolakan
memang sakit dan memberikan bekas rasa kecewa dalam hati. Namun, di titik itu
saya mencoba merenungkan kembali rasa itu dan ternyata ada banyak hal yang bisa
kita pelajari. Mungkin, masih
banyak hal yang perlu kita koreksi dari sikap kita. Atau memang kita harus
menyadari, kalau kita gak bisa membuat semua orang itu menerima kita dan selalu
sependapat dengan kita. Karena harus disadari, walaupun makhluk sosial, manusia
itu unik dengan kombinasi karakteristik dan logika masing-masing. Jadi sah-sah
saja bila kadang kita merasa gak mendapatkan ’Klik’ dengan tipe orang tertentu
yang karakter dan logikanya berbeda dengan kita. Dari sana saya baru tersadar,
hidup ini memang penuh perbedaan. Yang penting gimana kita mau menyadari perbedaan
itu dan akhirnya mau membangun rasa hormat terhadap orang lain. Bahasa kerennya
Respect.
Membangun
hubungan personal dengan orang lain memang penting. Terutama dengan orang-orang
yang dekat dengan kita. Tapi gak penting juga untuk membangun hubungan personal
terlalu dalam dan memaksa semua orang untuk masuk dalam kehidupan pribadi kita.
Membuat semua orang menyukai
kita sama mustahilnya seperti kita ingin menjilat mata sendiri. Yang kita perlu
hanya Respect dengan semua
orang yang kita kenal gak peduli apa pangkat jabatannya. Karena dari Respect
yang kita taburkan untuk orang lain, suatu saat nanti kita pun akan
menuai Respect itu sebagai buah dari perbuatan kita.
So, enjoying yourself and let’s make this world more
beautiful..