“Your decision determine who you are”
Dalam sebuah pembicaraan yang tak cukup singkat, berikut ini beberapa petikan singkatnya :
‘Kamu kan anak psikologi yah, pasti sudah khatam yah berbagai karakteristik manusia. Kalau dari yang loe tau, karakter cowok tuh kayak apa?’
‘Hmmm.. Cowok yaa.. Dari sharing temen-temen cowok yah mereka kebanyakan tuh suka olah raga, musik, petualangan, egosi nya tinggi.. Makanya gak pacaran sesama laki, karena sama2 egois..hehehe’
‘Terus.. apa lagi?’
‘Hmm.. Otak kecil kalian dominan banget. Maksudnya porsi aktivitas seksual nya tinggi, kadang dominan banget. Hmmm.. Apa lagi yaaa.. kayaknya udahan deh gitu.’
’Hmmm.. loe lupa satu hal. Laki-laki tuh punya 2 kategori. Kalau gak bajingan.. yah homo.’
’Hmmm.. gitu yaahh.. Cowok cuma 2 kategori. Are you sure?’
‘Yup. I’m sure.’
‘Terus, kalo gitu loe masuk kategori mana? Loe suka sama laki or homo maksudnya?’
Seketika lawan bicara saya pun terdiam.. Mungkin kaget.. tumben banget saya mengeluarkan pertanyaan yang menyudutkan seperti ini.. Padahal pertanyaan saya cuma sekedar pertanyaan logika sederhana untuk memastikan di golongan manakah lawan bicara saya ini berada. Bajingan atau Homo?
Pembicaraan pun berlanjut.......
‘Kalau menurut gue yah.. laki-laki itu ada 3 kategori’
’Wooww.. Ada 3? Apa tuh?’
’Bajingan. Homo, dan Family Man. Untuk kategori terakhir, hasil pengalaman gue liat dari bokap gue. Dia sayang keluarga, bertanggung jawab, gak pernah bikin kita sedÃh kayak laki-laki bajingan di luar sana. Pun bokap gue gak pernah punya sejarah suka sama laki.’
‘Woww.. Surprising answer yaaa.. Elo emang selalu berpikir out of the box. I just like the way you are thinking. Amused. Padahal 2 kategori tadi kan dibuat sama cewe kebanyakan. Isn’t it?’
‘Mungkin 2 kategori tadi di buat sama cewe-cewe desperado karena kecewa luar biasa sama yang namanya laki. Gue pernah merasa kecewa dengan beberapa laki-laki. But I still believe that so many good guys out there for me. Kalo loe sendiri masuk golongan mana? Terdaftar dalam golongan familiy man kah?
Dan sekali lagi lawan bicara saya ini diam tanpa kata. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir nya. Hanya ada sebuah gelengan lemah dan sebuah senyum simpul yang mengisyaratkan sebuah pilihan atas hidupnya.
Setiap manusia memang memiliki pilihan bebas akan hidup. Entah pilihan itu dinilai baik atau buruk oleh masyarakat, tetap saja akhirnya pilihan terakhir ada di tangan manusia itu sendiri. Berdasarkan hal ini lah, akhirnya saya memutuskan untuk tidak berusaha lebih lanjut untuk mendapatkan jawaban dari lawan bicara saya ini. Pun bila jawaban itu terlontar, tentunya bukan sebuah jawaban yang saya harapkan.
Sampai dengan akhir dialog kami, ketulusan tetap ada dalam hati saya. Ketulusan untuk menjadi seorang sahabat terbaik untuk dia. Karena sebenarnya yang dia butuhkan hanyalah seorang sahabat yang bisa memahami dengan sebuah ketulusan. Agar luka hati yang teramat dalam yang mungkin pernah dirasakan sirna. Agar dia sadar bahwa di dunia ini masih banyak ketulusan sebagai sebuah hal berharga yang patut dilestarikan. Sembari dalam hati, saya memberikan tanda bahwa orang seperti ini perlu dimasukan dalam kotak khusus agar hidupnya tidak mengkontaminasi hati dan pikiran saya.