‘Jadi Paskah tahun ini hasil perenungannya apa nih?’
Dari kalimat tanya yang terlontar dari sebuah chatting melalui Blackberry Messenger, saya memulai perjalanan refleksi saya hari itu.
Memang selama 40 hari masa Pra-Paskah tahun ini, saya banyak menghabiskan waktu saya dengan bekerja keras pagi sampai malam. Moment yang saya ingat selama 40 hari in hanyalah sebatas ritual yang dilaksanakan di Gereja. Sepertinya tidak ada suatu hal yang istimewa yang saya lakukan selama 40 hari ini. Karena jujur, saya masih sibuk dengan kegalauan hati yang kunjung habis. Sehingga makna sebuah masa Pra-Paskah terasa kering dalam hati saya. Tapi ada sebuah pernyataan dari seorang pastor yang saya ingat sampai dengan detik ini.
Saat itu, dalam ruang berukuran 1 x 2 meter, saya bersujud di depan seorang pastor untuk melakukan pengakuan atas dosa yang saya lakukan. Setelah melakukan pengakuan atas beberapa kesalahan, sang pastor mulai memberikan nasihat kepada saya. Namun, di tengah nasihat tersebut, saya memotongnya dengan berucap,
’Oh iya Pastor, ada satu hal yang saya masih pendam. Saya masih belum bisa memaafkan seseorang yang menyakiti hati saya teramat dalam. Saya masih marah dengan dia sampai dengan saat ini.’
Dengan sebuah senyum simpul, Pastor itu mendengarkan kesalahan terbesar saya saat tersebut, lalu dia berucap,
’ Dalam hidup ini, Tuhan dengan baik mau memberikan pengampunannya kepada kita. Kamu senang gak kalau kesalahanmu diampuni oleh Tuhan? Jadi sudah sewajarnya kalau kita diberikan pengampunan oleh Tuhan, kita juga mau membagikan pengampunan itu kepada orang-orang di sekitar kita, terutama yang menyakiti kita teramat dalam.’
Dalam seketika itu, ingin rasanya air mata ini menghambur deras dari sudut mata saya, namun coba saya tahan dengan sepenuh usaha. Ada rasa sesal yang mendalam atas sikap saya ini. Sesal akan banyak hal. Sesal atas sebuah kegagalan ’prestasi’ hidup yang pernah terjadi. Namun, lebih menyesal lagi bahwa selama ini saya menanam rasa marah berlarut dan tidak pernah dengan tulus memberikan pengampunan itu.
Setelah kejadian itu, saya sadar bahwa penyesalan akan menahan kita untuk maju melangkah dalam hidup. Penyesalan hanya akan membuat kita terdiam meratap hidup yang harusnya terus berjalan ke depan. Yah.. karena hari esok lah yang akan dapat kita usahakan, bukan sebuah masa lalu yang telah menjadi sebuah prasasti hidup yang hanya bisa kita kenang dan menjadikannya sebuah pengalaman dan pelajaran.
Sekarang tugas saya adalah memberikan pengampunan itu kepada mereka yang menyakiti saya teramat dalam. Bukanlah sebuah kata pengampunan yang mudah terlontar dari bibir saya. Namun, pengampunan dengan ketulusan hati ini. Karena suatu hal yang dimulai dengan ketulusan, pasti akan berbuah baik di akhir cerita.