Biasanya setiap bulan, setelah segelintir uang masuk kedalam rekening sebagai upah rodi bekerja, saya selalu menahan diri untuk tidak berbelanja, paling tidak sampai dengan tanggal 15 setiap bulannya. Hal ini selalu saya lakukan, untuk menghindari terjadinya puasa , karena uang hasil kerja lenyap bergantikan sepatu, tas ataupun dres-dress lucu yang semakin memenuhi lemari.
Kalau bicara masalah aktivitas yang paling digemari perempuan sejagad raya ini, pastilah tak akan ada habisnya. Setiap bulan selalu ada saja trend atau model terbaru yang selalu menggoda mata ini untuk mengambil dan membelinya.. Apalagi di jaman serba mudah sekarang ini, dimana hampir semua toko di pusat perbelanjaan selalu dilengkapi dengan bermacam fasilitas bayar yang semakin mempermudah para perempuan untuk berbelanja. Selain itu ada banyak tawaran dari institusi kredit yang siap sedia menyediakan berbagai kartu ajaib. Yah, kartu ajaib yang hanya dilengkapi dengan verifikasi tanda tangan, barang-barang nan lucu pun siap untuk dibawa pulang.
Untungnya, saya bukan tipe perempuan yang senang berbelanja. Saat ingin membeli sebuah barang, selalu ada banyak hal yang dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum akhirnya menggesekkan kartu debit eletronik ke mesin cashier. Secara otomatis, otak ini langsung berimaji dengan banyak pertanyaan. Akan digunakan dengan apa barang ini? Apakah sebelumnya sudah punya barang serupa? Apakah terlihat bagus saat digunakan? Apakah di masa mendatang, barang ini dapat terus dipakai atau sekali pakai akan buang? Apakah harganya masuk akal? Apakah nyaman saat memakainya? Apakah barang ini cocok dengan saya? Apakah barang ini mewakili pribadi saya? Dan yang paling penting untuk dijawab adalah, Apakah barang ini worth it saya miliki karena saya butuh atau sekedar saya kagumi?
Untuk pertanyaan yang terakhir tadi, seringkali saya membutuhkan waktu 20-60 menit untuk mendapatkan jawabannya (wahhh... lama juga yah? Saya baru sadar). Ternyata sekedar mencari jawab atas pertanyaan itu otak saya terpaksa untuk bekerja keras. Ternyata untuk menemukan jawaban atas kebutuhan dan sekedar rasa kagum membutuhkan proses yang luar biasa panjang.
Kadang kita merasa tertarik bahkan jatuh cinta terhadap sebuah barang. Rasa ketertarikan kita membuat kita untuk berusaha mencari kelebihan, bahkan keunikan dari barang tersebut. Ketertarikan itu kadang kala membuat kita penasaran lebih lanjut, sehingga beberapa usaha dilakukan, seperti mencari informasi dari internet, tanya ke teman yang berpengalaman, maupun datang langsung ke tokonya untuk bertanya kepada penjual ataupun berinteraksi langsung dengan barang tersebut. Setelah informasi itu ada, lalu kita pun akan berpikir apakah kita langsung membeli untuk memilikinya atau mengurungkan niat sebentar, karena ternyata harganya mahal dan kita belum cukup mampu untuk memilikinya. Mungkin setelah sekian usaha dilakukan, kita akan merasa mampu untuk mendapatkan barang tersebut. Atau mungkin, kita pergi dan tidak jadi membeli, karena kita anggap barang itu tidak cukup berarti kita miliki.
Bila dilihat dari proses persepsi yang sedemikian rumit, mungkin hal inilah yang menjadi jawaban atas kendala saya dalam menentukan pasangan. Saya terkadang butuh waktu yang sangat lama untuk memastikan seseorang akan saya jadikan pasangan atau tidak. Memang lamanya relatif, tergantung interaksi dan kecocokoan dengan orang tersebut. Dan yang paling penting adalah, Apakah laki-laki ini cukup worth it untuk saya menjalin hubungan dengannya atau tidak? Apalagi untuk sebuah hubungan yang serius, banyak hal yang saya proyeksikan dan saya imajikan untuk masa depan. Namun, mengingat umur saya yang sudah tak muda lagi, kadang saya menjadi gundah gulana. Apakah saya akan melakukan pilihan impulsif dengan banyak orang dan melakukan banyak hubungan trial-eror... atau tetap pada kebiasaan saya dalam memilih.. Kembali merenung dan merasa dalam waktu yang relatif lama untuk mendapatkan satu pilihan yang tepat untuk sebuah masa depan cinta...
No comments:
Post a Comment