‘Sebenernya, yang lagi loe cari tuh calon suami atau sekedar teman ngobrol sih?’
Sebuah pertanyaan sederhana yang cukup menghujam jantung hati saya. Setelah mendapat pertanyaan itu, seketika saya langsung terdiam layu. Tak menyangka prosesi curhat saya harus diakhiri dengan sebuah pertanyaan yang saya sendiri pun tidak tahu jawabannya. Namun, saat itu saya merasa semakin tersudut dengan pertanyaan itu, saya impulsif menjawab,
‘Yah.. yang gue cari sekarang emang calon suami.. Secara umur udah seperempat abad nih..’
Jawaban impulsif yang terlontar dari bibir saya ini, langsung diamini oleh teman saya ini. Dengan hasil analisa atas perilaku saya selama ini, teman tersebut langsung menambahkan beberapa hasil observasinya terhadap saya.
‘Coba deh, loe pikirin lagi. Ada identitas orang itu yang berbeda sama loe des. Loe kan anaknya serius kalo mau menjadikan seseorang itu temen loe. Loe harus tau dulu semua hal dari A sampai Z nya orang itu. Kalo loe yakin, bahwa sesuai sama criteria, loe baru jalanin. Bener kan? Lagian, gue lihat laki itu gak cocok deh sama loe yang serius dan sulit di direct sama laki-laki’
Damn !! Mendengar penjelasannya yang terlalu premature itu, saya pun semakin layu dan kuncup. Hujanan penilaian terhadap personalitas itu begitu membuat saya enggan berkonsentrasi melanjutkan kerja pada pagi itu. Lalu mulai muncul banyak pertanyaan dalam diri saya.
‘Apakah benar, gue ini orang yang selalu serius dalam menjalani hidup?’
‘Apakah salah, jika saya ingin tahu identitas orang lain, yang sudah saya ketahui bahwa orang tersebut memiliki intensi yang lebih dari sekedar menjadi teman dengan saya?’
‘Apakah benar, saya terkesan begitu keras kepalanya, sehingga terkesan sebagai perempuan yang tidak mau diarahkan oleh mahkluk bernama laki-laki?’
Atau, jangan-jangan, teman saya yang baik ini sebenarnya belum begitu mengenal saya apa adanya. Belum mengerti siapa saya sebenarnya. Bahwa dalam dunia profesionalitas, saya harus mencitrakan diri saya sebagai orang yang lebih menggunakan mindset atau kemampuan analisa berpikir ketimbang dengan perasaan. Sehingga teman saya yang baik ini akan jarang sekali melihat saya menggunakan kepekaan perasaan saya selama berinteraksi di dunia professional.
Selain itu, saya yakin bahwa hampir semua orang di belahan dunia ini akan bertanya lebih detail mengenai identitas seseorang saat muncul intensi lebih dalam menjalin sebuah hubungan pertemanan. Intensi yang lebih dari sekedar teman. Karena disadari atau tidak, konsep Bhineka Tunggal Ika yang selalu dipelajari saat sekolah dulu hanya efektif dijalankan dalam konsep pertemanan dan hubungan professional, namun tidak dengan konsep mencari pasangan hidup. Karena sederhananya, dalam mencari pasangan hidup, seseorang tidak hanya menjalin hubungan dengan sang kekasih, namun juga dengan seluruh keluarga dari kekasihnya itu. Dan masih banyak keluarga Indonesia yang ingin bahwa keturunannya dapat menjaga adat istiadat leluhur dengan memiliki pasangan hidup yang sama identitasnya dengan yang mereka miliki. Begitupun dengan keluarga saya yang masih memegang teguh adapt istiadat leluhur dalam menjalankan kehidupan kami. Jadi, kesimpulannya adalah wajar bila saya bertanya dan mempertimbangkan lebih detail identitas dari seseorang yang memiliki intensi lebih terhadap diri saya.
Untuk pertanyaan terakhir, ‘Apakah saya perempuan yang sulit diarahkan oleh mahkluk yang bernama laki-laki?’. Untuk pertanyaan ini, saya menyadari dan mengakui bahwa saya memang seorang perempuan yang selalu mencoba untuk hidup mandiri dan memiliki visi-misi ke depan dalam hidup saya. Namun bukan berarti saya seorang perempuan yang keras kepala yang tidak bisa dan tidak mau diarahkan oleh laki-laki. Saya orang yang amat senang untuk dimanja dan diberi pengertian oleh pasangan saya. Dengan sebuah kesabaran dan pengertian, seorang laki-laki akan dapat berhasil mendapatkan hati dan perasaan saya. Otomatis di tahap tersebut, arahan hidup orang tersebut akan saya selalu saya pertimbangkan. Karena saya pun paham benar, bahwa sebagai perempuan saya adalah second person setelah pasangan saya. Pun, saya paham benar bahwa sebagai adanya kewajiban seorang perempuan menjaga wibawa dari pasangan hidupnya. Jadi tidak ada alasan yang kuat untuk saya tidak mengikuti arahan hidup yang diberikan oleh pasangan saya kelak.
Dari semua hal tersebut muncul kesimpulan lain lagi dalam diri saya. Prosesi curhat dalam lingkungan professional memang tidak akan efektif. Pemilihan pasangan hidup sebaiknya akan saya konsultasikan kepada teman yang memang pernah menjadi saksi mata atas semua perilaku personal saya, bukan teman yang melihat saya dari sudut pandang profesionalitas. Dan tentunya, selalu saya akan menempatkan pertimbangan keluarga sebagai prioritas pertama.
Jadi, daripada kuncup dan layu memikirkan pertanyaan dan analisa prematur teman saya itu, lebih baik saya sibuk membuka diri dan hati saya. Sekedar berteman baik pun tidak ada salahnya dilakukan. Bahwa suatu saat nanti, dari sekian teman laki-laki yang ada akhirnya saya pilih menjadi seorang pasangan hidup, itu adalah sebuah bonus dari ketulusan akan sebuah hubungan pertemanan.
No comments:
Post a Comment